Menghalau Galau

Tulisan ini saya buat ketika saya betul-betul sedang dalam kegalauan. Galau yang begitu berbeda dengan galau yang pernah saya rasakan sebelumnya. Ini bukan galau tentang cinta, patah hati, atau kecemburuan yang tak beralasan sama sekali. Galau yang saya alami berakar pada kecemasan.
Saya begitu cemas dengan diri saya sendiri, tentang masa depan saya. Ketika saya belum bisa (lagi) mendapatkan materi dan pekerjaan, saya galau, saya dilanda rasa cemas. Cemas yang bercampur dengan rasa takut.
Galau, cemas, dan ketakutan adalah perasaan yang wajar menjangkiti hati kita. Perasaan-perasaan itu menempati sisi hati kita dan pelan-pelan membunuh keceriaan kita. Wajah kita yang dulu tersembul senyuman manis, perlahan habis terkikis berganti wajah nan sinis. Ataupun bahkan kita tersenyum, tetapi dalam hati menangis teriris.
Kita terkadang galau dengan kehidupan yang serba pas-pasan, galau dengan materi yang kita miliki namun tak pernah mencukupi. Kita cemas akan seperti apa hidup kita besok. Takut karena kita tidak mampu membuat orang-orang yang kita cintai menjadi bahagia. Kita takut sukses tidak bisa kita raih.
Kita ingin sebaliknya. Kita ingin hidup yang menyenangkan. Bagaimana kita bisa hidup senang? Bagaimana kita bisa bahagia di dunia? Apakah dengan melimpahnya harta? Ilmu yang tinggi? Menjadi terkenal?
Allah berfirman dalam Al Quran pada Surah Yunus ayat 62 sampai 63, disitulah kita temukan jawabannya.
“Sesungguhnya kekasih-kekasih Allah mereka tidak merasa takut dan tidak berduka cita. Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Mereka memperoleh berita gembira dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.”

Itulah orang yang bahagia dan sukses menurut Allah, yakni orang yang beriman dan bertaqwa yang dalam hatinya tidak ada perasaan takut, tidak ada galau yang membuatnya bersedih hati. Mereka tidak lagi merasa khawatir dengan masa depannya, dan tidak menyesali kepedihan atas masa lalunya. Mereka telah bahagia dengan apa yang didapatkannya, dengan penuh syukur.
Lalu orang yang beriman dan bertaqwa itu seperti apa? Jawabannya kembali kita temukan dalam Al Quran tepatnya Surah An Nahl ayat 97.
“Siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik …”

Saya menulis ini bukan berarti saya telah menjadi orang yang sukses atau orang yang bertaqwa, saya rasa diri saya masih jauh dari semua itu. Saya hanya orang yang berupaya memahami kebahagiaan dan kesuksesan dari sisi yang lain, dan sebenarnya tulisan ini adalah pengobat kegalauan, kecemasan, dan ketakutan yang melanda hati saya.

Untuk apa diri ini menggalau
Jika hati masih merindu kasih sayangMu
Tak ada guna jiwaku cemas
Bila kemurahanMu begitu luas tanpa batas
Rasa takut takkan membuatku surut
Karena yakinku akan hadirmu disetiap langkahku turut

Cukup Allah bagiku untuk menghalau galau …

Mengenal Diri Sendiri

Hari-hari terus bergulir menyajikan segalanya didepan mata saya. Pahit manis dan getir yang terus membuncah seolah membuat saya sadar, bahwa inilah dan beginilah hidup. Lembaran demi lembaran mushaf Al Quran membawa saya pada Surah Al Ankabut ayat 2 sampai 3 :

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ’Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi ?Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta

Satu kata yakni Ujian. Saya harus menelan ujian dari Tuhan sepahit apapun itu. Karena dibalik pahitnya obat terdapat kesembuhan. Sekarang saya telah banyak belajar tentang diri saya sendiri, senada dengan petuah bijak Ibnu Qayyim Al Jauziyah  yang mengatakan“Siapa pun mengenal dirinya akan lebih sibuk membenahi dirinya sendiri daripada mencari kesalahan orang lain”. Saya mesti mengenal siapa saya sebelum saya mengenal orang-orang yang saya sayangi.Saya sempat menggugat, menggapa saya harus memiliki cerita hidup yang seperti demikian? mengapa saya yang harus mengalami? Apa maksudnya? Tidak bisakah saya kembali ke masa itu mengubah semuanya?
Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui saya di setiap kali sujud. Apakah saya pantas meminta surga. Sebuah hal yang paling saya khawatirkan, apakah Tuhan memaafkan kesalahan itu. Bagaimana caranya saya tahu bila Dia sudah memaafkan?

Orang lain bisa memandang diri ini setinggi langit meski sejatinya diri ini lebih pantas berada di dasar laut dalam. Pada akhirnya, ada satu titik dimana manusia seperti saya harus belajar dan berani mengenalkan diri untuk mengenalkan diri secara utuh. Mungkin tidak kepada semua orang, hanya kepada orang-orang tertentu. Dan itu tetaplah sebuah hal berat.
Mengenalkan diri secara utuh. Mengenalkan diri secara paripurna, hingga tak satupun tertinggal untuk diberitakan. Perihal orang tersebut kemudian pergi, itu adalah sebuah konsekuensi. Beruntunglah bila orang tersebut bisa menerima kita. Sebuah hal yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh manusia seperti saya bahwa akan ada orang yang menerima saya sedemikian rupa.
Hidup ini sejatinya hanya perlu Allah, apapun yang didekatkan kepada kita adalah sarana kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Termasuk pasangan kita, orang tua kita, anak-anak kita, teman-teman kita, harta kita, dan apapun yang memenuhi hidup kita.

Belajar

Hidup adalah tentang belajar. Belajar memahami diri sendiri, mengerti akan hadirnya orang-orang disekitar kita, atau belajar menerima suasana yang kadang tak seperti ingin kita. Belajar dari pengalaman. Pengalaman yang membuat kita memilih dan memilah diantara yang buruk dan yang benar. Belajar adalah memupuk ilmu kemudian menumbuhkannya menjadi amal. Beramal mesti miliki ilmu, dan dengan ilmu kita dapat maksimal dalam beramal.

Awal mula wahyu Allah mengajarkan Nabi Saw untuk belajar. Belajar membaca. Membaca adalah bagian yang tak terpisahkan dari belajar. Belajar memahami teks dan konteks, baris demi baris ayat-ayat qauliyah dan hamparan nyata aya-ayat kauniyah. Dengan semua itu kita pun akan tersadar akan adanya Allah Yang Maha Besar.

Malas belajar adalah suatu kehinaan bagi manusia. Manusia yang malas atau bahkan enggan belajar telah membuat dirinya terjatuh dalam jurang kegelapan. Hidupnya akan gelap tanpa adanya cahaya ilmu. Dan bagi orang yang telah belajar maka semestinya ia terus haus akan ilmu. Belajar tak berhenti ketika kita sudah punyai gelar. Belajar laksana mengarungi lautan luas tanpa batas. Setetes demi setetes ilmu yang kita dapat mengantarkan kita pada hakikat.

Marilah belajar, belajar bukan hanya di sekolah, tapi dimana saja. Kita bisa belajar pada burung, pada pengemis tua yang kelaparan, karena ilmu itu berserakan dan tugas kita adalah menghimpunnya …url

Cinta : Hati atau Logika ?

Seorang teman saya bertemu dengan Andi Lau, bukan artis film Hongkong, tapi singkatan dari Antara Dilema dan Galau, hehe. Mengapa bisa terjadi galau? Katanya penyebabnya karena cinta. Cinta yang salah? Entahlah.

Dia mencintai pakai hati. Dan katanya lagi dia terlalu mencintai. Terlalu mencintai bisa menyakiti hati? Barangkali. Kemudian ada juga yang bilang kalau cinta mesti pakai logika. Logika hubungannya dengan otak dan pikiran. Lalu yang mana cinta yang sejati? Yang pakai logika atau pakai hati?

Menurut saya, dua-duanya penting dalam cinta. Hati adalah tempatnya rasa, bisa membuat perasaan berbunga-bunga atau gelisah gundah bercampur resah. Tanpa ada hati, kita tak bisa merasakan arti sebuah cinta. Namun, perasaan yang diikuti dan dituruti juga mesti sejalan dengan logika. Jangan karena hati bilang, perasaan bilang dia adalah cinta kita sampai-sampai akal sehat kita hilang. Gila karena cinta, sampai hilang sudah harga diri kita. Logika yang jernih membimbing kita benar dalam memilih. Memilih apa yang pantas kita cintai.

Tapi, hehe, ada tapinya. Cinta yang sudah pakai hati yang bersih dan logika yang jernih itu belum cukup. Harus pula cinta kita tunduk dan mengikuti aturan Ilahi. Kita mesti berserah kepada pemilik cinta, yakni Allah. Kita hanyalah manusia biasa yang berusaha memadukan hati dan pikiran menjadi sebuah kekuatan dan kenikmatan.

Hati harus dilatih untuk selalu yakin pada Allah. Cinta yang tulus tidak selalu mulus, kadang kita harus melawan arus. Masalah datang membuat kita goyah karena keyakinan kita yang lemah pada Allah.

Kita sadar diri ini milik Allah, orang yang kita cintai pun milik Allah. Allah tahu isi hati dan pikiran kita. Jadi kuncinya adalah Allah. Allah yang perintahkan kita untuk saling kenal mengenal, untuk saling mencintai. Hati akan sakit jika orang yang kita cintai tak menghargai cinta kita, tapi jika cinta kita karena Allah semua itu akan terobati. Sehingga kita sadar, bahwa cinta karena Allah akan memberikan kita benih untuk memilih pasangan hidup kita nanti.

Usai Shalat

Kita telah shalat tapi kita tidak bisa memberikan manfaat. Bagi diri sendiri, apalagi untuk umat. Shalatnya tidak bermakna apa-apa. Shalatnya mungkin sekadar ritual saja, hilang makna, ada yang salah barangkali.

Shalat dimulai dengan niat, dibuka dengan takbir. Betapa Allah yang Akbar, Allah Maha Besar. Kemudian kita pun mulai bercerita pada Allah, kita berdoa. Sebuah dialog pribadi, sebuah pertemuan pribadi.

Usai shalat, ditutup dengan salam. Salam kepada apa yang ada disekitarnya sambil menengok kanan dan kiri. Semoga senantiasa selamat. Setelah shalat, seorang manusia diminta kembali ke masyarakat. Menjadi rahmat. Menjadi perantara nikmat.

Bila shalat hanya untuk sekedar melengkapi kewajiban, shalatnya tidak akan lagi bisa mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar. Karena dengan shalat kita bisa membedakan mana salah mana benar.

Karena sudah terlalu banyak orang shalat tapi tidak seperti sedang bertemu Allah. Karena sudah terlalu banyak orang usai shalat tidak kembali ke masyarakat. Bagaimana dengan shalatmu? Shalatku?

Melebarkan Maaf

Tulisan ini sebenarnya mau saya posting tepat pada hari Lebaran, tapi sayang Warnet tutup semua 😀

Walau telat, saya tetap mau menulis buah pikir saya tentang Lebaran. Setelah Ramadhan, tibalah hari perayaan, yakni Lebaran. Bagi yang berpuasa selama sebulan, tentulah Lebaran adalah hari kemenangan, kemenangan melawan setan, dan kemenangan atas kembalinya fitrah kesucian. Tetapi Lebaran lebih dari sekedar perayaan. Dan semestinya tak perlu dirayakan dengan berlebihan, misalnya dengan menghamburkan uang membeli petasan.

Lebaran identik dengan maaf memaafkan. Sejatinya maaf memaafkan bukan hanya pada saat Lebaran. Saling memaafkan tak perlu menungggu waktu. Jika kita berbuat salah, maka tiada salahnya kita meminta maaf. Begitupun jika orang lain berbuat khilaf pada kita, maka maafkanlah dengan lapang dada. Memaafkan adalah suatu sikap kebaikan yang kapanpun bisa kita lakukan. Kalau kita hanya mengkhususkan maaf memaafkan hanya pada saat Lebaran, ditakutkan kita akan terjebak pada perbuatan bidah.

Di Indonesia, momen Lebaran adalah saat saling bersilaturahmi. Kalau lebih spesifik kedaerahan, khususnya di daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara momen itu disebut dengan Massiara. Massiara, konon diambil dari kata Ziarah yang bermakna mengunjungi. Mengunjungi keluarga dekat, karib kerabat, hingga teman sejawat.

Nah, kembali ke maaf memaafkan, hubungan antar manusia pastilah rentan dengan konflik dan clash yang bisa memicu kerenggangan hubungan. Karena hakikatnya memaafkan bukan hanya sekedar berjabat tangan, tapi harus berisi keikhlasan hati untuk melenyapkan kesalahan dan meredam dendam. Saya teringan sebuah petuah bijak bahwa tingkat tertinggi memaafkan adalah membalas kejahatan orang lain dengan kebaikan. Alhamdulillah, jika kita mampu mencapai tingkat itu.

Setelah kita berlebaran, mari kita melebarkan maaf serta meleburkan dendam. Selamat Lebaran, selamat Massiara, jika tulisan ini tidak berkenan, mohon dimaafkan … 🙂

Bening Sekeping Hati

Hati adalah cerminan diri. Senada dengan sabda Nabi SAW yang bermakna bahwa apabila sekeping hati dalam diri kita bersih, maka sikap pun akan terpuji. Ahli Hikmah berkata :

Bagaimana akan dapat terang hati seorang yang gambar dunia ini terlukis dalam lensa cermin hatinya, bagaimana akan dekat dengan Allah padahal ia masih terikat syahwat dan maksiat, bagaimana akan masuk cahaya ilmu Allah padahal ia belum bersih dari kelalaiannya, dari dosanya …

Kita tidak bisa merasakan dan merayakan nikmatnya mengenal Allah Yang Maha Agung, jika kita kotori hati ini dengan nista. Sehingga muncullah tabir yang menghalangi kita menemukan hikmah Allah, padahal menurut Ustad Erick Yusuf bahwa hikmah adalah “barang hilang” milik orang beriman yang harus dicari. Dalam setiap kejadian, dalam setiap ujian, kita semestinya harus mencari dan menemukan hikmah yang terkandung dalamnya.

Gelas bening berisi air bening, dimasukkan satu butir pasir, mudah terlihat mudah pula mengambilnya. Gelas kotor berisi air kotor, jangankan debu, paku yang berbahaya saja akan tidak terlihat. Begitu analoginya. Orang yang bersih hatinya kalau berbuat salah dan dosa, peka terhadap kesalahannya, mudah dirinya untuk bertobat. Orang yang hatinya kotor oleh maksiat, sulit hatinya untuk peka, bahkan terhadap dosa besar.

Gelas bening berisi air bening, seberkas cahaya mudah masuk dan merasuk mengisi setiap sisi. Gelas kotor berisi air kotor, sulit untuk diterangi dan disinari. Orang yang hatinya bersih, secercah ilmu bisa mencahayai dirinya, memperbagus akhlaknya, membahagiakan dirinya, serta bermanfaat bagi umat. Orang yang berhati kotor, walaupun sekelilingnya gudang ilmu, sukar hatinya meraih setitik ilmu. Makin bersih hati, makin kuat iman, mendengar nama Allah hati akan tergetar, seruan Allah diikuti dengan benar.

Sekali lagi, Ahli Hikmah berkata :

Alam itu sesungguhnya semuanya adalah kegelapan, sedang yang meneranginya hanya karena tampaknya kebenaran yakni hak Allah padanya. Maka siapa melihat alam dan tidak mampu melihat kasih sayang dan kebesaran Allah, berarti ada tabir yang menutupi hatinya …

Kenapa hati tertuupi? Karena terlalu banyak “benda” dunia yang menjadi tambatan dan tumpuan hati. Seperti orang yang sangat senang terhadap barang, takut barang itu rusak apalagi hilang. Padahal hilangnya barang yang disayang belum tentu keburukan. Mungkin Allah menolongnya dengan kehilangan agar hatinya tak terpaut pada materi. Boleh kita miliki dunia tapi jangan sampai hati terkotori, karena akibat terkotori hati menjadi tertutupi dari cahaya Ilahi.

Ya Allah, beri kami sekeping hati yang bening. Amin

*Tulisan ketiga di bulan suci ini

Meneliti Diri dan Merasa Berdosa

Setiap hari yang Allah beri, mestinya kita meneliti diri sendiri. Teliti hati, apakah ada ujub, riya, iri, dengki yang bersembunyi? Ataukah apakah diri ini senang dipuji? Selama ini, justru karena ingin memperlihatkan ibadah dan perbuatan baik, perlahan-lahan muncul benih-benih penyakit hati, merasa diri paling suci. Bulan Ramadhan kali ini, alhamdulillah Allah masih memberi kita momen latihan diri. Melatih ikhlasnya hati. Hanya kita dan Allah, dan bukankah Puasa adalah ibadah rahasia?

Sudah maklum bahwa manusia tak pernah luput dari dosa. Tidak masalah jika kita merasa berdosa. Merasa berdosa adalah langkah awal menuju pertobatan. Kita tak perlu merasa suci. Merasa berdosa mengantarkan kita bersimpuh dihadapan Allah dengan penuh penyesalan. Iman kita akan menjadi kuat dan erat melekat karena rasa sesal. Memohon ampunlah dengan doa berhias tetesan airmata. Itu lebih baik. Muhammad SAW, manusia termulia pun bersabda, “Seluruh anak Adam berdosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertobat”. Syahdan, Nabi SAW pun bertobat dan membaca istigfar 70 bahkan 100 kali setiap hari. Konon, Khalifah kedua, Umar bin Khattab pernah berkata, “Banyak orang yang berbuat kebaikan pada masa lalu, kemudian menyombongkan diri dengan kebaikannya itu, namun pada hari ini ia terjatuh dalam kemaksiatan. Namun adapula yang masa lalunya penuh dosa lantas ia bertobat hingga ia teguh dalam kebaikan hingga sekarang”.

Meneliti diri serta merasa berdosa, bagi saya adalah cara memperteguh iman. Iman yang menghujam dalam hati terdalam pun adakalanya goyah. Remuk redam iman kita saat dosa-dosa menyelimuti. Gairah ibadah menjadi lemah, seolah-olah lelah. Mari teliti diri, teliti hati, jika memang ada goresan dosa, mari akui pada Allah, meminta padaNya untuk dihapuskan.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami

*Tulisan kedua di Bulan Ramadhan ini. Tidak lebih baik yang menulis, yang lebih baik adalah yang mengamalkannya

 

 

Dan Doa Itu

Tulisan ini saya buat kala Ramadhan penuh berkah. Sebagai manusia yang kadang gundah dan goyah, saya sadar segalanya memang membutuhkan Allah. Bukankah kita sering berucap Laa Hawla Wala Quwwata Illa Billah?

Pun kita membutuhkan doa. Doa adalah senjata manusia. Sebait doa terucap pada Allah, kita merendah, kita menyembah. “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri …” Itulah sepenggal firman Allah dalam Surah Al Araf ayat 55. Dalam buku Menyambut Kematian karya Candra Malik, saya temukan kalimat bahwa doa adalah senjata utama orang yang beriman kepada Allah. Tidak pernah ada keajaiban yang mustahil bagi Allah untuk orang yang berdoa. Jika Allah menghendaki, berlaku Kun Fayakun atas setiap hal.

Ayat kedelapan Surah Al Lail menyindir manusia, “Dan orang yang bakhil dan merasa cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah). Orang yang malas dan enggan berdoa bisa dikatakan sebagai orang bakhil, kikir, atau pelit. Merasa dirinya bahwa ia tak perlu berdoa dan meminta pada Allah. Oleh karena itu, dalam surah itu orang yang seperti itu diganjar dengan jalan hidup yang sukar. Maka tiada alasan lagi untuk tidak berdoa karena kita adalah makhluk lemah. Memintalah pada Allah. Bisa pula dengan sholat, bukankah sholat juga merupakan doa?

Dalam keadaan sedih atau senang, sholatlah dengan tenang. Berusaha untuk menghadapkan hati pada pemilik hati. Sadari bahwa tiada yang abadi, setiap kita pasti mati. Sholat yang sejati adalah yang bisa membentengi diri dari perbuatan keji. Saya belum sesempurna itu dalam sholat. Saya akui diri, saya teliti diri, saya masih jauh dari itu. Tapi itulah, mari kita berdoa agar ibadah kita bernilai dan diridhai.

Selain berdoa sendiri, doakan pula orang lain, orangtua, saudara, serta sesama kaum Muslimin. Dan jangan segan pula untuk meminta didoakan, terlebih kepada ayah atau ibu, karena sesungguhnya doa orangtua sangat mudah dikabulkan Allah, bukankah ridha Allah senada dengan ridha ayah bunda?

Di sisa usia yang tersisa, jangan kita habiskan sia-sia. Isilah dengan doa dan ibadah, dengan ilmu dan amal. Yakin pula bahwa doa kita pasti dikabulkan oleh Allah, setiap doa akan di ijabah. Cepat ataukah lambat, bisa pula dalam bentuk lain yang Allah lebih tahu bagi kita. Apapun yang kita minta, Allah memberi yang terbaik bagi kita. Jadi jangan pernah kecewa, jangan pula berburuk sangka, karena Allah pencipta kita yang mengetahui segalanya …

Sabar Sebentar

Sebenarnya, mencintai dalam diam seperti kebanyakan orang bilang karena alasan untuk menjaga hati, juga sebenarnya karena alasan takut. Takut bahwa dia yang kita cintai dalam diam tidak memiliki perasaan yang sama dengan kita. Cinta yang dipendam dalam diam memang hanya diri sendiri dan Allah yang tahu, menyimpannya rapat-rapat, mendoakannya walau berjarak.

Namun, kebanyakan kita, dan saya pun pernah terjebak jalan pintas yang namanya pacaran. Perasaan cinta saya pada seseorang saya nyatakan dan ingin saya jalani dalam hubungan pacaran. Namun, Allah membukakan pikiran saya, ternyata pacaran adalah kesalahan.

Kita tidak perlu memaksakan waktu untuk bersama. Menghendaki yang belum sampai. Allah menyampaikan pesan-Nya agar kita menjaga diri untuk sementara waktu. Hanya sementara.

Untuk sementara waktu jagalah hati kita masing-masing tetap berada pada tempatnya. Tetap berada pada perlindungannya. Sampai waktu dimana cinta kita harus diberikan dan diterima oleh orang lain. Sampai waktu dimana kita akan menerima hal yang sama pula dari orang lain.

Untuk sementara waktu. Bersabarlah. Karena kesabaran adalah hal terbaik yang bisa kita perjuangkan saat ini. Bukankan untuk sementara waktu saja. Tidak lama, tidak akan menghabiskan seluruh hidup kita, Insya Allah.

Pada akhirnya, cinta tidak hanya membutuhkan perasaan, melainkan kesiapan. Suatu hubungan membutuhkan keduanya. Dan pacaran adalah hubungan yang mengada-ada, tempat orang-orang yang belum siap, orang yang tidak sabar, tetapi mau memiliki. Maka dari itu, jika  seseorang menyayangi kita, pastikan ia tulus dan bertujuan.

*** Tulisan singkat di malam hening di kota daeng ..