Jika panas menggerutu
Dingin malah mengeluh
Syukur tak pernah penuh
Keluh kesah separuh
Kau dan aku pun sama
Kita manusia
Manusia itu
Suka mengaduh
Jika panas menggerutu
Dingin malah mengeluh
Syukur tak pernah penuh
Keluh kesah separuh
Kau dan aku pun sama
Kita manusia
Manusia itu
Suka mengaduh
Beranjak padamu aku mengajak.
Mulai bersuara, berkata, bercerita.
Aku ingin sinarmu tak memudar, dan kau tak perlu gusar.
Memang, kadang kau kalah.
Namun dengan tenang kau bisa menang.
Hidupmu tak selamanya redup. Pintu kebahagiaan untukmu belum tertutup.
Untuk kau. Agar segera kembali ke awan dimana kau biasa bergumul. Bermain dan melompat lompat dengan ratusan bintang.
Kawan ketahuilah, cahaya akan selalu datang. Sebelum kita melangkah pulang.
Perempuan dalam lamunan
Di setiap kata
Ia tak pernah nyata
Perempuan dalam lamunan
Entah siapa
Mungkin ia tak pernah ada
Dulu
Genggam tanganmu masih kurasa, dan dan detak jantungmu
Kini
Kau jauh tak tersentuh
Utuhku berkeping menjadi debu
Karena
Telah hilang wujudmu di mataku
Dan tidak seperti waktu itu
Kita berada di udara yang sama
Di bawah langit yang sama
Dan di antara hujan
Hanya saja, kali ini saya tidak tahu harus memandangmu dari arah mana …
Sebuah senja di September.
September yang belum berakhir.
Sebuah kisah tersimpan di jejak langkah yang masih basah.
Akankah hujan menghapusnya?
Dan ku ingat wajah wajah yang ramah.
Di baliknya ada duka.
Tak tahu aku apa itu.
Tak perlu juga aku tahu.
September segera berlalu. Dan aku masih tetap merindu.
Akankah kita kembali bertemu?
Menemukan wajahmu yang terjejak di awan putih
Sejenak kau menghilang tersapu kelabu mendung
Kucari dalam senja
Sekejap kau terbenam menjadi malam
Kita, manusia manusia kota yang tak bisa bersembunyi.
Dari pandang mata yang selalu mengawasi.
Kita terus mendengar alunan bunyi.
Dari mesin mesin yang terus bernyanyi.
Kita, bergerak bersama zaman meninggalkan mimpi mimpi.
Kita, manusia kota.
Aku beranjak dari lamunan, sejenak berdiri menatap langit. Mendung.
Melenyapkan rindu ini, mengembalikannya kepada awan, sebelum datangnya hujan.
Semusim telah lewat, dedaunan pun kering layu berguguran.
Apalagi yang kini diharapkan dari sebuah penantian?
Mungkin jawaban yang sedikit pun tidak memuaskan.