Melihat Laut

Tak semestinya aku meninggalkan kuliahku demi untuk pergi melihat laut. Padahal mata kuliah hari ini begitu penting untuk mendongkrak nilai-nilaiku yang anjlok semester lalu. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin ke laut. Hasratku menggebu untuk melihat ombak yang menggulung, berakhir menyapu tepian pantai. Seolah-olah segala gundah tertumpah dan tercurah ketika mata ini memandang biru laut yang indah. Namun, sekarang semua beda. Baru kali ini aku menikmati hembusan angin laut sendirian. Selama ini aku selalu berada disampingnya. Tepat disampingnya, merangkul tangannya, mencium aroma parfumnya yang seakan menari-nari diujung hidungku.
Aku terlalu setia kata temanku. “Pakai akal sehatmu dalam urusan cinta” begitu kata Fitri padaku. “Kesetiaanmu harus pada orang yang tepat” nasihatnya, tulus, bagai petuah bijak dari seorang guru pada muridnya. Sadarku, memang setiaku tak pernah berbalas. Aku benci menjadi setia. Begitupun halnya aku sudah muak dengan janji-janji manis, topeng kepura-puraan, atau ditinggalkan tanpa alasan.
“Ulva, aku akan selalu ada untukmu” kata Dani, kekasihku, sebulan yang lalu sebelum akhirnya dia melanggar sendiri ucapannya itu. Pada nyatanya dia pergi tanpa ucapan permisi, bahkan layak aku katakan dia hilang, bukan ditelan bumi tapi terbang bersama angin.
Fitri, sahabatku, kemarin menyerangku dengan pertanyaan tentang Dani. Secara bertubi-tubi ia ingin membuatku menceritakan perihal episode aku dan Dani sewaktu di pantai. Aku akhirnya menyerah saja, kuceritakan semuanya pada Fitri, bagaimana Dani memelukku dan berucap janji untuk memperistriku, berterima kasih karena aku telah mempercayainya menjadi yang pertama.
“Tapi dia pergi kan?” Fitri bertanya lagi.
Aku hanya mengerutkan dahi. Tersenyum tipis.
“Laki-laki memang seperti itu, dan kita pun terlalu mudah percaya. Apalagi jika kita telah dibuatkan suasana romantis, kita lupa. Kita lupa kalau akhirnya pasti berujung kebohongan”.
Aku hanya diam. Mencermati dalam hati kata-kata Fitri, sebenarnya kesalahan ada pada diriku. Diriku yang salah telah mengenal, bahkan mencintai orang yang salah.
“Kamu harus bisa melupakan dia”.
“Aku sudah melupakannya”.
“Lantas kenapa setiap hari kamu ke pantai, menyendiri disana seperti orang kesepian saja”.
Fitri menduga bahwa aku ke pantai untuk kembali mengenang segala tentang Dani. Padahal tidak sama sekali. Aku melihat laut hanya untuk berpikir. Berpikir kembali tentang cinta.

***
Dengan perasaan berkecamuk, aku mengangguk. Dani menarik nafas dalam-dalam, memaksa bibirnya yang menghitam karena rokok untuk tersenyum. Detik berlalu dan aku tak bereaksi.
“Mengapa kita bertemu lagi disini?” tanyaku padanya. Dani tetap tersenyum. Belum usai aku mengagumi indahnya matahari senja yang bersiap untuk tenggelam. Aku dibuat terhempas kaget dengan kehadirannya tiba-tiba dihadapanku.
“Ini tempat kita, kau sudah lupa? tanyanya.
“Kau pergi”.
“Tidak”.
Mataku memandang matanya, kemudian kubuang pada sebuah titik. Pantulan cahaya senja tak lagi berwarna emas bercampur jingga.
“Aku menguji setiamu”
“Untuk apa? Pergilah”.
“Kau sudah tak cinta?”
Pertanyaan itu tak mampu kujawab. Aku berada diantara yakin dan ragu jika tentang cintaku pada Dani. Mungkin bisa kujawab tidak, tapi apa gunanya jika airmataku tetap menetes mengenangmu saat larut malamku. Sebaiknya memang kau pergi saja. Tenggelam dalam dasar laut atau lebih baik surut.
“Ulva bangun”
Suara samar-samar ditelingaku. Mataku kubuka dan ternyata Fitri yang membangunkanku. Tak kusangka aku tertidur di pantai, dibawai nyiur kelapa, dibelai angin sepoi. Dan aku bermimpi tentang Dani.

Akhirnya aku pulang. Dalam perjalanan menuju rumah, aku ditemani hujan. Ingin rasanya aku kembali ke laut. Berenang. Tapi sekarang aku terlampau letih, mataku sudah layu, kelopak mataku menjadi sangat berat. Aku berencana untuk langsung melempar diriku menuju alam mimpi sesampainya di rumah. Semoga bukan mimpi tentang Dani. Semoga aku bermimpi tentang laut.

“Apa jadinya laut tanpa ombak? Semuanya datar tak beriak.  Laut  tanpa ombak, tanpa nyiur, dan tanpa senja seperti musik tanpa intro. Ada nada yang hilang. Seperti mendengarkan sebuah alunan lagu yang tak utuh, betapa tidak nyamannya keadaan itu. Begitupun aku dan kamu.  Itu yang kukatakan kepadamu. Lalu kamu pergi meninggalkanku, tanpa kata dan hanya tersenyum kecil.

Ingin Mati Di Masjid

j80Nafas Pak Abdul tak beraturan, naik turun. Di rumahnya ia sendiri, sudah dua hari. Anaknya belum pulang dari melaut. Pak Abdul lelaki tua yang umurnya telah senja. Dua tahun sudah ia terbaring kesakitan. Kata orang-orang ia terkena penyakit karena terlalu sering menenggak minuman keras, bahkan hingga sekarang.
Jika menengok ke masa lalu, sikap Pak Abdul tak disenangi orang di kampungnya. Kerjanya hanya mabuk dan memajak nelayan-nelayan yang pulang melaut. Ia memaksa nelayan memberi sekeranjang ikan hasil melaut, atau kadang di tempat pelelangan ikan setelah nelayan menjual ikannya, Pak Abdul datang meminta setoran. Tak ada yang berani melawan. Semua orang tahu, Pak Abdul punya ilmu hitam, bisa membuat kepala orang lembek seketika.
Pak Abdul bangkit dari ranjangnya. Berjalan gontai keluar kamar menuju teras rumah. Angin laut berhembus berhawa panas disiang bolong itu. Tubuhnya begitu lemah dengan perutnya yang buncit membusung. Pak Abdul nampak ingin keluar rumah. Rais anak tunggal Pak Abdul, datang sepulang dari melaut. Dilihatnya bapaknya lunglai pucat pasi berdiri di depan pintu.
“Bapak mau kemana?”
“Mau ke mesjid”
“Untuk apa?”
“Bapak mau kesana”
Rais mengira bapaknya hanya bercanda. Diajaknya bapaknya masuk kembali ke kamar. Pak Abdul menolak, bersikeras ia ingin keluar. Ia betul-betul ingin ke mesjid. Rais mencoba menahan tapi tetap saja bapaknya melawan. Rais mengalah, ia kasihan melihat bapaknya yang sedang sakit keras. Rais berpikir itu mungkin permintaan terakhir bapaknya.
“Kalau mau ke masjid bapak harus bersih-bersih”
“Mandikan bapak”
Rais memapah bapaknya ke sumur belakang rumah. Dimandikannya bapaknya dengan air yang nampaknya begitu dingin, terlihat dari tubuh bapaknya yang menggigil setiap kali tubuhnya disirami air. Seusai mandi, Rais memakaikan bapaknya baju kemeja. Kemeja berwarna putih.
“Saya tak kuat harus menggendong bapak ke masjid”
“Panggilkan Ahyar dan Mail”
“Bukankah mereka membenci bapak?”
“Sekalian bapak mau pamit dan meminta maaf”
Ahyar dan Mail adalah tetangga Pak Abdul, dua bersaudara yang orangtuanya telah disantet oleh Pak Abdul. Mereka berdua sempat hampir membunuh Pak Abdul. Memang susah membuktikan bahwa Pak Abdul yang menyantet orangtua mereka. Tak ada bukti fisik yang memberatkan Pak Abdul dihadapan polisi. Walau begitu amarah dua kakak adik itu membuncah, mereka begitu yakin Pak Abdul bersalah. Suatu malam, di tengah malam buta mereka masuk ke rumah Pak Abdul hendak menikamnya. Parang tajam memang sempat melukai tangan Pak Abdul tapi tak mampu membuatnya mampus. Pak Abdul melarikan diri. Malah Ahyar dan Maillah yang harus meringkuk di jeruji besi akibat percobaan pembunuhan.
“Untuk apa kau datang memanggil kami menolong bapakmu itu?”
“Dia mau minta maaf pada kalian”
“Bantuan apa yang kau inginkan dari kami?”
“Bapakku ingin dibawa ke masjid”
“Untuk apa?”
“Entahlah”
“Orang pendosa seperti bapakmu itu tak pantas masuk masjid, dosanya selangit”
Wajah Rais lesu. Dia tak berhasil membujuk Ahyar dan Mail. Mereka menolak memberi bantuan. Rais pulang. Berjalan cepat menuju rumahnya. Tak ditemuinya bapaknya, tak ada bapaknya di rumah. Dicari ke setiap ruang namun tak nampak batang hidungnya. Dalam pikiran Rais, jelas cuma satu tempat tujuan kepergian bapaknya. Masjid.

Depan masjid sudah ramai. Orang-orang datang ada yang hendak sholat dhuhur, dan ada pula yang mendapat kabar bahwa Pak Abdul mendatangi masjid. Mereka datang untuk melihat Pak Abdul. Seperti sebuah keanehan. Sesosok manusia yang dikenal segudang dosa karena perbuatan jahatnya, kini masuk ke rumah Tuhan. Rais mendapati bapaknya tengah duduk bersila dalam masjid. Karena waktu sholat sudah masuk, Rais pun berwudhu untuk segera menunaikan sholat. Rais berdiri disebelah bapaknya. Mereka berdua menjadi bagian jamaah sholat.

Ditengah sholat, Pak Abdul ambruk. Jatuh ia ke lantai karena lunglai. Rais menghentikan sholatnya, begitupun dengan yang lain. Sepertinya ajal Pak Abdul sudah dekat. Sebentar lagi ia tamat. Jamaah mengerumuninya. Pak Abdul terbaring dipangkuan anaknya.

” Apa aku banyak salah dan dosa?”. Pak Abdul berucap pelan dan lirih. Semua orang diam. Tak ada jawaban. Sebenarnya dihati orang-orang jawabnya iya, tapi karena iba melihat Pak Abdul mereka semua bungkam.

” Kalian pasti tidak senang dengan saya kan?” Kembali Pak Abdul bertanya. Kali ini seorang bernama Pak Karim menjawab.

” Sebaiknya bapak tak perlu bertanya seperti itu, bapak mesti banyak beristigfar”

” Ah tak perlu, Tuhan tak mungkin menerima taubat saya. Saya sudah terlambat”

” Lantas kenapa bapak mau ke masjid dan sholat?” Rais menimpali.

” Bapak mau mati di masjid, biar orang-orang menilai bapak sebagai orang yang baik”.

Nafas Pak Abdul kini betul kian habis dan menipis. Tubuhnya tersentak berontak karena ruhnya akan segera berpisah dari jasadnya. Perlahan-lahan tubuhnya mendingin, menjadi kaku. Lepaslah sudah nyawa Pak Abdul dipangkuan anaknya, di sebuah masjid. Tak ada tangis yang mengiringi, bahkan dari anaknya sendiri. Harapan Pak Abdul agar orang mengenangnya sebagai manusia baik yang mati di rumahTuhan, mungkin saja terwujud. Entah.

 

Setapak Lorong

Kapal Ferry terasa pelan bergerak menyibak ombak lautan, memangkas kabut yang menyelimuti lautan antara Kolaka dan Bajoe dalam remang udara subuh setelah tujuh jam mengeja malam dan berlayar di Teluk Bone. Dan pada akhirnya aku akan bersua padanya di Makassar. Di tempat tinggalnya yang baru.

“Rima, aku sudah di hadapmu”

Sepatah kata itu masih menjadi kesukaanku daripada tulisan-tulisan puitis tentang senja yang tergelincir di barat. Deretan kata itulah yang menghadirkan temu dua mata kita diantara dua kota yang berbeda. Kisah kecil ini dimulai dari gorengan yang kita santap sebelum matahari merah merona. Di tepi pantai Losari. Dia bertanya tentang bagaimana perjalanan semalam dan aku menjawabnya dengan kalimat protes pada secangkir teh hangat yang kurang manis. Aku butuh gula lebih banyak agar otakku menangkap simpul saraf dari mataku yang fokus merekam jejak wajahnya. Pada saat itulah aku sadar, dia terlihat manis, lebih manis daripada teh yang kuseruput.

“Makassar panas kan?” tanyamu padaku.

Kujawab iya. Dan memang dia benar. Sepanjang hari ini panas matahari begitu menyengat dan tak ada pohon rindang yang memayungi kita. Aku bertanya kita hendak kemana dan hanya jawaban ikuti saja yang mendarat di telinga. Sesekali aku iseng menanyakan tentang jalan namun dia dengan sigap memotong kalimat tanya yang kulontarkan dengan baris yang cukup panjang dan masih saja dibubuhi dengan kata ‘ikuti saja’ setelah tanda koma.

“Aku sudah hafal setiap jalan di kota Makassar, ikuti sajaa!!!”

Dan akhirnya kita benar-benar tersesat setelah kamu berkata: “Oh iyaaaaaaa, harusnya tadi kita lewat sini, lalu belok kanan kemudian kiri”. Bibirku tersenyum saja dan pipinya tersipu malu. Tapi aku bahagia berjalan berdua dengannya menyusuri setapak lorong diantara rumah-rumah warga.

Lepas jam satu siang, setelah aku dan Rima berjalan menyusuri kota, melewati setapak lorong hingga tiba di jalan raya. Dan beginilah kiranya penggambaran hubungan kita. Bagai setapak lorong sempit yang tabah kita jalani hingga menemukan jalan keluar. Betapa dulu mati-matian aku memperjuangkannya. Ibuku tak mau aku menikah dengannya. Yah, sebuah alasan klasik, karena kita beda agama. Bersyukur akhirnya hidayah itu datang padanya, menyapa dan membawanya masuk ke dalam agamaku. Tapi sayang, setelah Rima memutuskan mengikuti imanku, orantuanya lagi yang tak merestui hubungan kita. Orangtuanya di Tana Toraja bahkan berniat mengusirnya jika memilih menikah denganku. Dan sekali lagi aku bersyukur, dia bertahan denganku.

***

Ramai orang bilang kalau aku dan Rima berpacaran. Anggapan itu salah. Aku dan dia menjalin cinta dalam ketaatan, kami berniat menyatukan cinta ini dalam pernikahan. Kisah cinta aku dan Rima tak melulu manis, kami, layaknya pasangan biasa juga pernah mengalami masa-masa penuh drama. Dua tahun yang lalu, aku mendapatkan kesempatan untuk bekerja di  Kolaka sebagai marketing perumahan dan Rima tidak bisa menerima kenyataan itu.

“Aku takut, rasanya ku tak bisa menjalin hubungan jarak jauh”

“Tak perlu galau. Sekarang kan jaman udah canggih, kita kan masing-masing punya akun sosial media?”

“Tapi hanya di dunia maya”

“Aku akan pulang”

“Tapi tidak sering”

“Tinggal sekota juga kita jarang bertemu kan? Sama saja. Tidak mungkin lah aku lupa sama kamu. ”

Pernah aku dan Rima bertengkar dikarenakan salah paham. Ada temannya yang membuat fitnah kalau aku di Kolaka telah selingkuh dengan seorang anak SMA. Rima terhasut. Ia menuduhku macam-macam. Dengan segala cara aku berusaha memberi bukti bahwa aku tak pernah menduakannya. Akhirnya, mungkin karena cintanya padaku, akhirnya dia percaya.

Dan semuanya kembali normal.

Lamunanku buyar seketika Rima menepuk bahuku dan berkata : “Ini rumah Pamanku, Paman Markus, dia mualaf. Dia yang akan menjadi wali pernikahan kita esok”. Ternyata inilah tujuan Rima mengajakku ke Makassar.

Rima mempersilahkan aku masuk kerumah pamannya. Betapa senang hatiku. Akhirnya ada juga keluarganya yang menjadi wali untuknya, sebagai syarat sahnya pernikahanku dengannya. Dan tentunya dengan mahar semampuku. ddd

Rima, terima kasih sudah memilihku menjadi imammu.

Upacara Pemulung

Bersahutan kokok ayam jantan. Langit di ufuk timur berwarna keperakan. Fajar baru saja menyingsing. Aku segera Kaum-Miskin-Di-Indonesia-PenulisHidupku.Com-2membangunkan Anto. Anto sama sepertiku, sama-sama seorang pemulung, sama-sama bocah yang tak punya lagi orangtua.
Pagi ini kami harus pergi memulung. Sama pula seperti hari-hari kemarin. Rongsokan, sampah plastik, dan kardus bekas adalah incaran kami. Butir-butir embun menyentuh telapak kakiku yang telanjang. Udara pagi memang menyegarkan, walau kadang pula hawanya membuat tubuh kuruskeringku ini menggigil.
“Bagaimana kalau hari ini kita ke perumahan orang kaya, kita memulung disana. Disana banyak rongsok plastik” kata Anto sambil matanya terus melihat disekeliling barangkali ada sampah yang bisa dipulung.
“ Kita ke sekolah saja, anak-anak pasti banyak yang buang sampah sembarangan”.
Anto mengangguk. Kami pun segera ke sekolah dasar dekat dari tempat tinggal kami. Ah, sebenarnya tidak berhak aku menyebutnya sebagai tempat tinggal, yang tepat adalah tempat kami numpang tidur. Emperan toko.
Matahari mulai terik. Tibalah kami di depan gerbang sekolah. Teriakan anak-anak bermain terdengar jelas. Sekolah itu sebenarnya pernah menyimpan harapan bagiku. Aku pernah bersekolah walau hanya sampai kelas 5 SD. Di halaman sekolah terdapat tiang bendera. Pada tiang itulah, aku ingat aku pernah menaikkan bendera Merah Putih saat upacara bendera.
Terdengar lonceng berbunyi. Anak-anak berlarian bersorak-sorak menuju halaman sekolah. Semua berkumpul membentuk barisan. Oh rupanya ini adalah hari senin. Mereka pasti akan melaksanakan upacara bendera. Aku dan Anto tanpa aba-aba segera pula menghadap ke tiang bendera dan berdiri tegap. Kami seolah-olah bagian dari barisan anak-anak sekolah.
Dari kejauhan aku melihat dua orang anak bergerak menuju tiang bendera. Tak lama kemudian Sang Dwiwarna perlahan-lahan dinaikkan.
“Hormat bendera, grak!”Sayup-sayup aku mendengar aba-aba itu.
Kami terhipnotis dengan lagu Indonesia Raya. Kami pun hormat dan menurunkan tangan begitu mendengar aba-aba dari kejauhan.
Tiba-tiba bunyi klakson mengangetkan dan membuyarkan perasaan khidmat kami. Ternyata aku dan Anto berdiri di tengah jalan. Sebuah motor ingin lewat.
“Hei, pemulung, kenapa berdiri ditengah jalan? Mau mati yah!”.
Seorang bapak pengendara motor menghardik kami.
“Kalian sedang apa ditengah jalan?” Bapak itu kembali bertanya.
“Kami sedang ikut upacara bendera, Pak” Anto menjelaskan.
“Hah!” Bapak itu membelalak, lalu tertawa terbahak-bahak. “Kalian kalau mau upacara yah di sekolah, jadi anak sekolahan dulu”.
“Sungguh kami ikut upacara itu,Pak” kataku dengan wajah serius.
“Wah kalian pemulung gila. Kalian mengkhayal menjadi anak sekolah, ya! Siapa pun tahu kalau orang yang mencari rongsokan sampah itu namanya pemulung, bukan anak sekolah. Sudah pergi sana, jangan berdiri di tengah jalan!”.
Aku dan Anto saling memandang dan segera pergi. Ucapan Bapak itu sungguh menyakiti hati kami sekaligus menyimpan tanya. Benarkah upacara bendera itu hanya untuk anak-anak sekolah sedangkananak pemulung seperti kami tidak boleh ikut? Kami juga anak bangsa. Kami pemulung pun terlahir di Indonesia.
Anto tiba-tiba saja tertawa lepas, mungkin ia menertawakan kelakuan kami tadi. Sambil mengais-ngais tempat sampah di salah satu rumah orang kaya.
“Kita memang pemulung, bukan anak sekolah. Bapak tadi berkata benar, pemulung tak pantas ikut upacara bendera”
“Tapi aku dulu pernah sekolah”
“Itu dulu”
“ Tetap saja aku dulu pernah sekolah”
“Ah sudahlah, ini aku dapat sisa makanan, mari kita makan”
Dengan lahap kami pun makan.

Aksan Lukman
Kolaka, 5 Maret 2014
20.30 WITA

Terjebak Khayalan

Adzan Isya belum berkumandang. Wajah Imran terlihat ngantuk, sekali-kali ia menguap. Adiknya, Marwan duduk bersandar di tiang gubuk. Ayah dan ibu mereka sudah meninggal setahun yang lalu. Setelah orangtua mereka meninggal, hidup mereka sebatang kara, sampai akhirnya Haji Ahmad mempekerjakan mereka sebagai pengembala kambing.

Imran sudah membungkus dirinya dengan kain sarung, sedang Marwan masih duduk depan gubuk mengawasi kandang kambing.

“ Masuklah Wan, sudah malam,” kata Imran dari balik kain sarungnya.

“ Belum malam, aku pun belum shalat Isya,” sahut Marwan

Imran tersentak, seakan-akan diingatkan oleh adiknya. Ia langsung bangkit.

“ Astagfirullah, aku juga belum shalat.”

Segera Imran turun dari gubuk menuju sumur . Siraman air wudhu terasa menghilangkan rasa ngantuknya. Wajahnya segar kembali.

Marwan juga shalat Isya menjadi makmun dibelakang kakaknya. Waktu sesudah shalat bagi mereka adalah saat-saat yang paling menyenangkan. Ada kenikmatan, ketentraman yang merasuk ke dalam hati mereka, ada kebebasan. Mereka serasa telah melunasi utang-utang yang menggunung.

Bintang-bintang malam itu berkedip bersama bulan yang sempurna purnama. Sudah setahun mereka bekerja sebagai pengembala kambing Haji Ahmad. Banyak suka duka yang mereka alami, meskipun dalam kenyataan dukalah yang lebih banyak. Setiap hari sejak fajar terbit hingga mentari terbenam, mereka mengembalakan kambing, menjaga kambing, dan menyabit rerumputan.

Upah mereka satu hari sepuluh ribu rupiah. Makan dua kali sehari, pagi dan malam. Hidup mereka memanglah pahit, namun tidak ada pilihan lain. Ayah tidak punya, Ibu pun telah tiada. Beruntung Haji Ahmad bertemu mereka di mesjid. Haji Ahmad tersentuh hatinya dan iba kepada mereka.

Sebenarnya dulu Imran pernah bersekolah sampai kelas tiga sekolah dasar, sedangkan Marwan hanya sampai kelas dua sekolah dasar. Keadaan telah memaksa mereka putus sekolah. Pekerjaan mereka sekarang adalah mengawasi kambing-kambing supaya tidak masuk kebun orang lain.

Di malam purnama itu, mereka menghitung-hitung penghasilan. Sepuluh ribu rupiah dikali duabelas bulan.

“ Mungkin uang kita sudah banyak,” kata Marwan membuyarkan keheningan malam. “Kalau dibelikan kambing betina mungkin sudah beranak banyak”.

“ Pelihara kambing harus punya kandang, kau mau simpan dimana?”.

“Mungkin Haji Ahmad mau memberikan sepetak tanah untuk kandang kambing kita”.

“Mana mungkin!” sahut Imran.

“Selama ini kan upah kita simpan pada Haji Ahmad dan belum pernah kita ambil. Bagaimana kalau kita usul kalau upah kita dalam bentuk kambing saja?”

“Benar,” kata Imran. “ Saat kita mulai bekerja disini, kambing Haji Ahmad baru enam ekor. Satu jantan dan lima betina. Sekarang kambingnya sudah jadi tiga puluh ekor.”

Mereka berdua saling memandang. Mereka berdua menerawang ke alam khayal.

“ Kalau kita membeli kambing betina, pasti akan beranak banyak.” Marwan mulai berkhayal. “Satu ekor betina akan beranak dua. Anaknya nanti beranak lagi. Maka lama-lama kambing kita akan berpuluh-puluh.”

“ Saya adalah kakakmu. Bagian kakak harus lebih banyak daripada adik,” kata Imran. “Jika kambingnya ada empat puluh ekor, maka saya dapat duapuluh lima dan bagianmu lima belas ekor.”

“Itu tidak adil namanya,” protes Marwan. “Mestinya saya dapat sembilan belas ekor.”

“Bagianku akan akan kujual semua,” lanjut Imran. “Uang hasil penjualan akan kubelikan tanah  dan akan kutanami sayur mayur. Rencanamu bagaimana?”

“Akan kujual sebagian kambingku untuk membeli sepetak tanah disamping kebunmu untuk kujadikan kandang.”

“Kalau begitu kamu harus bikin pagar sebagai batas tanahmu dan tanahku.”

“Aku tidak mau.”

“Kamu harus bikin pagar pembatas!,” kata Imran. “Kamu kan tahu tanahku ditanami sayur mayur. Kambingmu pasti akan merusak tanamanku, dan kamu harus mengganti kerusakannya.”

“Tidak bisa,” kata Marwan.” Kambingku tidak salah, kambing tidak bisa membedakan mana rumput mana tanaman sayur.”

Imran mulai emosi, matanya melotot. “ Kambing yang memakan tanaman orang lain jelas bersalah.”

“Kakak yang salah, kenapa tanam sayur didekat kandang kambingku. Aku tidak akan membayar ganti rugi.”

Tanpa banyak bicara lagi, Imran memukul wajah adiknya. Rasa sakit pukulan Imran di pipi Marwan menyadarkan mereka dari khayalan. Mereka sadar mereka bertengkar karena khayalan. Segalanya masih dalam angan-angan kosong belaka.

“Astagfiurullah,” mereka mengucap istigfar dan saling berpandangan.

Cahaya purnama semakin benderang seiring larutnya malam. Mereka diam. Tidak lama kemudian mereka terlelap dalam kelelahan.

03love-500

Ibu, aku demam

Senja yang dihiasi gerimis turun di pekuburan. Aku datang untuk berziarah ke makam Ibu. Tempat peristirahatan terakhir Ibu. Aku bersihkan makam itu, kutaburi bunga yang kupetik kemarin. Bunga melati, kesukaannya.

Aku menghela nafas, kucoba pejamkan mata dalam-dalam. Terasa aku larut dalam keheningan, berbaur dalam suasana pekuburan yang sunyi. Dalam hati sesungguhnya aku tidak suka suasana duka ini. Perlahan aku mengingat kembali wajah Ibu. Walau memori itu sudah lama kusam, aku mencoba untuk menjernihkannya kembali.

Sewaktu masih berusia sembilan tahun, maut pernah datang menghampiriku. Aku jatuh sakit. Kata dokter, aku terkena Tipes. Demam melanda, panas tinggi ketika memasuki waktu sore. Hingga malam hari badanku menggigil. Diriku tak berdaya kala itu. Berat badanku terus menyusut menjadi kurus. Helai demi helai rambutku rontok.  Ibu satu-satunya orang yang peduli. Oleh kasih sayangnya, Ibu bagai malaikat disampingku, lebih dari seorang perawat.

“ Ibu, Ibu, aku tak mau minum obat, pahit sekali Bu”,

“ Biar nanti Ibu tambahkan gula, pahitnya akan berkurang, ini supaya kau cepat sembuh”.

Disaat ku terbangun tengah malam, saat Ayah dan kakak ku lelap tertidur. Ibu terjaga menemaniku. Ibu membuatkanku secangkir teh hangat. Ku sambut teh itu dengan tangan yang lemah. Aku hirup teh hangat itu. Ibu tersenyum padaku.

Itulah saat-saat aku dan Ibu begitu dekat. Terasa dekat sekali. Sampai dalam mimpi pun yang aku lihat hanyalah wajah Ibu. Aku terapung-apung dalam ingatan masa lalu tentang Ibu. Gerimis  yang turun di pekuburan seakan seirama dengan airmataku yang berlinang.

Aku masih mengingat, setelah tiga bulan diriku sakit, Tuhan memberikan kesembuhan. Aku tumbuh menjadi segar kembali. Namun, rumah tangga Ibu dan ayah menjadi retak. Setiap malam terjadi pertengkaran hebat. Ibu tahu kalau Ayah berselingkuh dengan seorang pelacur. Saat itu aku sudah duduk di bangku SMA.

“Kau pasti melihat Ayahmu pergi dengan pelacur itu bukan?” tanya Ibu dengan suara yang berat.

Aku tak menyahut. Namun bagi Ibu, diamku adalah sebuah jawaban. Kemudian di detik selanjutnya, aku dan Ibu menangis. Ibu membelai rambutku, menasihatiku agar tabah dengan keadaan ini.

Akhirnya, Ibu dan Ayah bercerai. Kakakku ikut Ayah, entah kemana mereka. Setamat SMA, oleh Ibu aku dititipkan kepada Paman di kota. Saat aku mendaftar di salah satu perguruan tinggi di kota itu, aku mendapat kabar dari Paman. Ayah dan kakakku meninggal. Mobil yang mereka tumpangi terguling jatuh ke jurang. Perasaanku bercampur aduk.

Aku tetap berkuliah dibiayai oleh Paman. Hingga sarjana. Aku terbujuk oleh temanku untuk hijrah ke luar negeri. Katanya disana gajinya tinggi, dan aku dibutuhkan oleh perusahaan sebagai pengawas pabrik. Aku tergiur. Aku berangkat kesana tanpa pamit kepada Ibu di desa.

Sepuluh tahun aku bekerja di luar negeri. Tak pernah sekalipun aku mengirimkan apa-apa kepada Ibu, bahkan untuk sebuah kabar. Aku tergerus kehidupan zaman modern, aku lupa bahwa aku seorang anak desa. Uang telah membutakan mataku.

Bayangkan, betapa rindunya Ibu padaku. Hingga pada suatu pagi, sebuah surat tiba di meja kerjaku. Aku tahu pengirim surat itu, sebuah nama, nama Pamanku. Surat itu mengabarkan, Ibu telah tiada. Ibu menderita TBC akibat tekanan batin, rindu yang dahsyat kepadaku.

Kabar kematian Ibu, membuatku menjadi. Aku terasa layu. Pekerjaanku sering terhambat, daya pikirku melambat. Aku merasa berdosa. Dosa kepada Ibu karena meninggalkannya sendirian. Bahkan disaat ajal menjemputnya aku tak ada disampingnya. Karena alasan itulah, akhirnya aku berhenti bekerja dan perusahaan memulangkanku.

Kini, setiap menjelang Bulan Ramadhan, aku sempatkan berziarah ke makam Ibu. Dan disana, aku selalu merasa melihat senyuman Ibu. Kenangan tentang Ibu masih melekat, terasa hangat bagai pelukannya. Entah, seandainya waktu dapatku ulangi, rasanya aku ingin selalu jatuh sakit, aku ingin selalu demam, karena disaat itulah aku dan Ibu begitu dekat.25LOVE-articleLarge

Non Job

Wajah Pak Maman merah padam. Tak seperti biasanya, masih pagi ia sudah pulang ke rumah. Gerah sekali hati Pak Maman pagi ini. Bukan karena panasnya terik matahari, tapi karena kegerahan yang berasal dari hatinya yang marah.

“ Kenapa Bapak cepat sekali pulang, ini masih jam sembilan,” kata istrinya. Pak Maman langsung duduk tanpa membuka sepatunya. Istrinya menangkap raut wajah marah Pak Maman.

“Ada masalah apa Pak?”. Kali ini suara istrinya agak tinggi.

Sambil membakar rokoknya, Pak Maman berkata, “Aku dipecat, Harto menggantikanku sebagai Kepala Sekolah”. Istrinya menunduk. Seakan dibiarkannya kepulan asap rokok suaminya menutupi wajahnya. Ia sedih.

“ Harto memang penjilat, ia keluarga dekat Pak Bupati. Sebulan setelah pelantikannya, Bupati itu mengangkat keluarganya sebagai pejabat, dilengserkan orang-orang yang berseberangan dengannya, termasuk aku,” kata Pak Maman yang masih nampak marah.

Ratih, anak kesayangan Pak Maman  datang, ia melihat Bapak dan Ibunya dengan raut wajah yang tak biasa. “ Ada apa Pak? Bu?”. Pak Maman diam. Sesaat hening. Istri Pak Maman menegakkan kepalanya.

“ Bapakmu dipecat”.

“Kenapa Bu? Apa salah Bapak?” Ratih kaget mendengarnya.

“Bapak dianggap tak sejalan dengan Bupati nak, Bapak dituduh mendukung lawan politiknya waktu pemilihan dulu.” Pak Maman mulai berbicara. Ia berusaha berkata lembut kepada anaknya. Ratih anak tunggal Pak Maman. Pak Maman sangat memanjakan Ratih. Pak Maman pernah berjanji akan membiayai pendidikan Ratih hingga menjadi seorang dokter. Begitulah cita-cita Pak Maman.

“ Sebaiknya Bapak coba memohon berkah ke makam keramat, sudah banyak pejabat yang meminta berkah di sana, mereka langsung murah rejeki” kata istri Pak Maman.

“ Bagaimana mungkin orang yang sudah mati diminta rejeki, pada orang hidup saja susah meminta sesuatu tanpa imbalan, apalagi pada orang mati”, kata Ratih.

“ Betul apa yang dikatakan Ratih, Ibu juga harus tahu kalau perbuatan syirik, dilarang agama”, kata Pak Maman menimpali.

Pak Maman kemudian berdiri. Ia lalu ke belakang, mengambil air wudhu, berharap amarahnya reda tersiram air wudhu. Ia menyuruh istrinya menyiapkan makanan, mungkin juga ia marah karena perutnya lapar. Sementara menunggu makanan, Pak Maman tertidur, rupanya karena terlalu lelah. Dalam sekejap, ia bermimpi. Pak Maman bermimpi dirinya menjadi seorang Bupati. Pak Maman dihormati semua orang. Ia memecat orang-orang yang tidak mendukungnya, ia angkat kerabat, teman, keluarga dekatnya menjadi pejabat menduduki jabatan penting. Tapi, dalam mimpinya itu Pak Maman di protes warga. Masyarakat tidak terima Pak Maman berbuat nepotisme. Kantornya dilempari batu dan telur busuk. Dan pada akhirnya Pak Maman ditangkap karena terlibat korupsi berjamaah.

Pak Maman dibangunkan oleh Ratih karena makanan sudah siap. Pak Maman tak lahap makan siangnya karena masih terbayang oleh mimpinya tadi. “ Kenapa Bapak tidak mencoba mendekati Pak Bupati, cobalah menjadi penjilat, barangkali Bapak akan diberi jabatan lagi,” Ratih berkata kepada Bapaknya. Istri Pak Maman mengangguk seakan setuju dengan perkataan anaknya.

“Sudahlah, tadi Bapak marah dan kecewa, tapi sekarang Bapak sudah ikhlas. Jabatan adalah titipan, tidak selamanya kita berada diatas” kata Pak Maman dengan wajah yang tenang.

“ Seharusnya yang diangkat jadi pejabat bukanlah karena keluarga dekat. Jabatan harus diserahkan kepada ahlinya”, Ratih berkata kecut. Pak Maman hanya tersenyum. Pak Maman mengerti istri dan anaknya sangat kecewa dirinya dipecat. Apalagi ia dipecat dengan alasan yang sangat politis. Padahal selama ini Pak Maman adalah seorang Kepala Sekolah yang baik. Sekolah yang dipimpinnya maju dan siswanya banyak yang berprestasi.

“Tapi sekarang Bapak sudah tidak punya pekerjaan, kita kan butuh makan.” Istri Pak Maman berkata dengan wajah cemberut.

“ Sekarang Bapak mau kerja apa?” Ratih bertanya.

“ Nanti Bapak coba jadi tukang cukur, itu salah satu kepandaian Bapak waktu masih muda. Bapak juga masih punya tabungan di bank, cukuplah untuk membuka tempat cukur”.

Ratih tak ingin bertanya lagi. Setelah makan, ia langsung masuk ke kamarnya. Dalam hatinya, ia kecewa dengan politik. Bapaknya sudah sepuluh tahun menjadi seorang Kepala Sekolah, dan akhirnya harus dipecat karena alasan politik. Pupus sudah harapannya untuk melanjutkan kuliah di kota besar, rasanya tak mungkin lagi ia menjadi dokter. Selama ini, hanya Bapaknya seorang yang mencari uang. Bapaknya tulang punggung keluarga. Rasanya ia pun akan malu punya Bapak seorang tukang cukur.

30MODERNLOVE-popup

Kau Teman yang Baik

Aku adalah seorang gadis yang selalu menampilkan senyum tersimpul. Bisa dibilang ceria.  Jarang sekali aku menangis, mungkin hanya pada saat mengiris bawang. Aku juga seorang lulusan perguruan tinggi ternama dan aku orang yang selalu punya rencana. Sepanjang hidupku aku telah diperintah, disiplin sangat baik oleh keluarga, ayah dan kakak . Orang orang disekitarku senang atas sikapku yang ramah. Namun tampaknya aku tak punya banyak teman. Hanya ada satu teman dekat.

Teman dekat saya, namanya Tiara, kini telah bekerja di luar kota. Kami terpisah, tapi aku selalu menjaga komunikasi. Seringku mengiriminya surat, menelponnya saat menjelang tidur, atau sms agar dia tak lupa makan. Aku tak ingin pertemananku dengannya berhenti di tengah jalan.

Dia pernah bekerja di sebuah rumah makan disana, hanya sebulan lalu kemudian aku dengar dia telah sukses menjadi seorang pengusaha muda. Dan kudengar pula kabar ia akan datang ke kota ini lagi. 13MODERNLOVE-popup

Rasanya aku tak sabar. Esok pukul sembilan pagi Tiara akan tiba di bandara. Aku telah siap Kusiapkan penyambutan seperlunya. Aku bawakan makanan kesukaannya.  Baju pun kusetrika.  Besok perempuan itu, sahabat dekatku, pasti  heran tak menyangka melihatku berpakaian rapih, apa lagi sudah lama kita tak jumpa. Selepas bertemu nanti, rencananya aku tak akan langsung mengantarkannya ke rumah. Akan kubawa ia ke taman kota, tempat favorit kita berdua untuk ngobrol.

“Kau, kenapa kau terlihat ceria sekali?” tanyanya padaku saat duduk di bangku taman.

“Memang dari dulu aku begini kan”

Tak banyak obrolan yang keluar. Aku terlalu gugup untuk berkata dan bertanya . Aku merasa tak dekat lagi dengan dia, terasa ada sekat-sekat.

“Jadi kau sekarang seorang pengusaha, kau telah kaya?” tanyaku memberanikan diri.

Dan ia tak merespon, apa lagi tersipu, menatapku pun enggan. Aku rasa pertanyaanku salah.

” Mengapa pertanyaannya seperti itu? tanyanya padaku.

” Aku mendengar kau telah suskes dan jadi pengusaha muda yang kaya”

” Biasa saja, kamu kira aku telah jadi orang yang sombong karena itu? Ah, perkiraanmu itu salah”

” Lalu mengapa kamu datang kembali dan menemuiku?”

Dia mengatakan kalau dia tak ingin lagi diganggu olehku. Dia terganggu oleh suratku, sms, dan telponku. Dia tak bisa fokus dengan pekerjaannya. Dia pun menceritakan telah menemukan teman baru yang lebih baik dariku. Jika memang begitu inginnya, aku tak kecewa. Tapi aku masih bertanya-tanya mengapa ia berubah seperti ini. Mungkinkah aku memang mengganggunya atau itu cuma sekedar alasan? Entahlah. Dan memang benar apa yang sebagian orang lain katakan bahwa pertemanan akan memudar karena uang dan kesibukan. Kini, aku rela, aku tetap menganggapnya sebagai sahabat. Dan sebagai sahabat yang baik aku terima keputusannya.

Besoknya, aku tetap mengantarnya ke bandara. Aku memeluknya erat. Aku melepasnya dengan lambaian tangan. Lalu aku melihat tarikan senyum kecil di sisi mulutnya .

” Kau teman yang baik , ” katanya

Piano

Di tengah jalan, di tengah keramaian. Ketika detikGambar perlahan kurasa berubah menjadi menit, dan menit menjelma menjadi jam.  Semua warna yang kulihat begitu membosankan tanpamu, tanpa tawamu yang juga terkadang mengundang tawaku. Apakah aku sudah kehilangan pikiranku? Akal sehatku telah mati?.

Ketika semuanya sudah mereda, apakah salah aku meminta cinta?. Tak kuasa waktu itu aku menahan tanganmu. Membiarkanmu pergi diiringi oleh alunan musik sedih. Telingaku mendengarkannya, tapi telingamu tidak. Kau pergi.

Katamu waktu itu, ” Kau akan baik baik saja tanpaku”. Aku hanya diam. Dalam hatiku remuk redam. ” Kau akan temukan orang lain yang membuatmu bahagia”, katamu lagi waktu itu. Sekali lagi aku diam.

Jika saja mulutku tak dikalahkan oleh tangisku, maka akan aku katakan, ” aku sangat mencintaimu”. Tapi aku tak bisa. Kau adalah lelaki yang membuat awal yang bahagia. Walau pun di akhir kau menggores luka, tapi selamanya aku tetap cinta.

Bodoh aku dahulu menganggap kita berjodoh. Ketika kau memberikan potret seorang wanita. Dia manis, katamu. ” Inilah wanita pilihan ibuku, yang akan menjadi istriku”, katamu dengan lembut dihiasi senyum tipis. Aku ragu untuk memujinya, aku begitu cemburu. Mataku hanya melihat gelap. Cinta memang membuatku buta. Aku ingin marah. Tapi aku tak kuasa. Melepasmu pergi adalah satu satunya cara aku bisa membuatmu bahagia.

Sadar aku akan hidup ini. Seperti bilah bilah piano, kau dan aku telah berjalan dalam alunan musik kehidupan.Ada hitam ada putih, suka dan duka seiring waktu. Dan mungkin kita telah menulis sebuah lagu, sebuah lagu yang sedih berirama tragis.

” Tak bisakah kau memilihku?” kataku padamu saat kita berdua di sebuah kamar. ” Aku telah berikan semuanya”. Tapi sebelum kau menjawabnya, raut wajahmu sudah berkata tak bisa. Rasanya cukup sudah aku memaksa.

Aku ingat, saat kau di depan gerbong kereta, kau dekatkan bibirmu di telingaku. ” Maafkan aku”. Seketika tubuhku bergetar. Aku tak ingin lagi menangis. Pergilah, maafku sudah ku beri. Biarkan anak dalam rahimku ini melihat dunia, tanpa seorang ayah.

Gaptek

Ada orang yang selalu datang di warnet ini. Menjelang petang hingga larut malam , ia duduk dipojok warnet. Gerak geriknya mecurigakan. Entah apa yang ia lakukan, mungkin membuka situs porno. Wajahnya keringatan.

“Mas, maaf, warnetnya sudah mau tutup”

“Oh, iya, sebentar lagi yah”.

“Ok Mas, lima menit lagi”.

Lima menit sudah lewat. Dia masih belum berhanti juga. Bosan saya menunggu, apalagi perut saya sudah lapar. Ingin cepat pulang ke rumah dan istirahat.

“Mas, saya sudah mau pulang, sudah tengah malam”.

Dia diam saja. Saya datang menghampirinya, penasaran juga saya mau liat dia buka situs apa. Setelah saya mendekat, saya kaget. Ternyata dia tidak tau cara browsing. Tampilan monitornya hanya desktop.

“Sebenarnya saya tidak tau caranya browsing internet”.

“Terus kenapa mas tidak bertanya, saya kan operatornya”.

“Saya malu mas, saya tidak mau dibilang gaptek”

“Hahaha”

Malam itu, saya sadar, ternyata masih ada orang di abad ini yang gaptek.