Melihat Laut

Tak semestinya aku meninggalkan kuliahku demi untuk pergi melihat laut. Padahal mata kuliah hari ini begitu penting untuk mendongkrak nilai-nilaiku yang anjlok semester lalu. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin ke laut. Hasratku menggebu untuk melihat ombak yang menggulung, berakhir menyapu tepian pantai. Seolah-olah segala gundah tertumpah dan tercurah ketika mata ini memandang biru laut yang indah. Namun, sekarang semua beda. Baru kali ini aku menikmati hembusan angin laut sendirian. Selama ini aku selalu berada disampingnya. Tepat disampingnya, merangkul tangannya, mencium aroma parfumnya yang seakan menari-nari diujung hidungku.
Aku terlalu setia kata temanku. “Pakai akal sehatmu dalam urusan cinta” begitu kata Fitri padaku. “Kesetiaanmu harus pada orang yang tepat” nasihatnya, tulus, bagai petuah bijak dari seorang guru pada muridnya. Sadarku, memang setiaku tak pernah berbalas. Aku benci menjadi setia. Begitupun halnya aku sudah muak dengan janji-janji manis, topeng kepura-puraan, atau ditinggalkan tanpa alasan.
“Ulva, aku akan selalu ada untukmu” kata Dani, kekasihku, sebulan yang lalu sebelum akhirnya dia melanggar sendiri ucapannya itu. Pada nyatanya dia pergi tanpa ucapan permisi, bahkan layak aku katakan dia hilang, bukan ditelan bumi tapi terbang bersama angin.
Fitri, sahabatku, kemarin menyerangku dengan pertanyaan tentang Dani. Secara bertubi-tubi ia ingin membuatku menceritakan perihal episode aku dan Dani sewaktu di pantai. Aku akhirnya menyerah saja, kuceritakan semuanya pada Fitri, bagaimana Dani memelukku dan berucap janji untuk memperistriku, berterima kasih karena aku telah mempercayainya menjadi yang pertama.
“Tapi dia pergi kan?” Fitri bertanya lagi.
Aku hanya mengerutkan dahi. Tersenyum tipis.
“Laki-laki memang seperti itu, dan kita pun terlalu mudah percaya. Apalagi jika kita telah dibuatkan suasana romantis, kita lupa. Kita lupa kalau akhirnya pasti berujung kebohongan”.
Aku hanya diam. Mencermati dalam hati kata-kata Fitri, sebenarnya kesalahan ada pada diriku. Diriku yang salah telah mengenal, bahkan mencintai orang yang salah.
“Kamu harus bisa melupakan dia”.
“Aku sudah melupakannya”.
“Lantas kenapa setiap hari kamu ke pantai, menyendiri disana seperti orang kesepian saja”.
Fitri menduga bahwa aku ke pantai untuk kembali mengenang segala tentang Dani. Padahal tidak sama sekali. Aku melihat laut hanya untuk berpikir. Berpikir kembali tentang cinta.

***
Dengan perasaan berkecamuk, aku mengangguk. Dani menarik nafas dalam-dalam, memaksa bibirnya yang menghitam karena rokok untuk tersenyum. Detik berlalu dan aku tak bereaksi.
“Mengapa kita bertemu lagi disini?” tanyaku padanya. Dani tetap tersenyum. Belum usai aku mengagumi indahnya matahari senja yang bersiap untuk tenggelam. Aku dibuat terhempas kaget dengan kehadirannya tiba-tiba dihadapanku.
“Ini tempat kita, kau sudah lupa? tanyanya.
“Kau pergi”.
“Tidak”.
Mataku memandang matanya, kemudian kubuang pada sebuah titik. Pantulan cahaya senja tak lagi berwarna emas bercampur jingga.
“Aku menguji setiamu”
“Untuk apa? Pergilah”.
“Kau sudah tak cinta?”
Pertanyaan itu tak mampu kujawab. Aku berada diantara yakin dan ragu jika tentang cintaku pada Dani. Mungkin bisa kujawab tidak, tapi apa gunanya jika airmataku tetap menetes mengenangmu saat larut malamku. Sebaiknya memang kau pergi saja. Tenggelam dalam dasar laut atau lebih baik surut.
“Ulva bangun”
Suara samar-samar ditelingaku. Mataku kubuka dan ternyata Fitri yang membangunkanku. Tak kusangka aku tertidur di pantai, dibawai nyiur kelapa, dibelai angin sepoi. Dan aku bermimpi tentang Dani.

Akhirnya aku pulang. Dalam perjalanan menuju rumah, aku ditemani hujan. Ingin rasanya aku kembali ke laut. Berenang. Tapi sekarang aku terlampau letih, mataku sudah layu, kelopak mataku menjadi sangat berat. Aku berencana untuk langsung melempar diriku menuju alam mimpi sesampainya di rumah. Semoga bukan mimpi tentang Dani. Semoga aku bermimpi tentang laut.

“Apa jadinya laut tanpa ombak? Semuanya datar tak beriak.  Laut  tanpa ombak, tanpa nyiur, dan tanpa senja seperti musik tanpa intro. Ada nada yang hilang. Seperti mendengarkan sebuah alunan lagu yang tak utuh, betapa tidak nyamannya keadaan itu. Begitupun aku dan kamu.  Itu yang kukatakan kepadamu. Lalu kamu pergi meninggalkanku, tanpa kata dan hanya tersenyum kecil.