Mengenal Diri Sendiri

Hari-hari terus bergulir menyajikan segalanya didepan mata saya. Pahit manis dan getir yang terus membuncah seolah membuat saya sadar, bahwa inilah dan beginilah hidup. Lembaran demi lembaran mushaf Al Quran membawa saya pada Surah Al Ankabut ayat 2 sampai 3 :

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ’Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi ?Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta

Satu kata yakni Ujian. Saya harus menelan ujian dari Tuhan sepahit apapun itu. Karena dibalik pahitnya obat terdapat kesembuhan. Sekarang saya telah banyak belajar tentang diri saya sendiri, senada dengan petuah bijak Ibnu Qayyim Al Jauziyah  yang mengatakan“Siapa pun mengenal dirinya akan lebih sibuk membenahi dirinya sendiri daripada mencari kesalahan orang lain”. Saya mesti mengenal siapa saya sebelum saya mengenal orang-orang yang saya sayangi.Saya sempat menggugat, menggapa saya harus memiliki cerita hidup yang seperti demikian? mengapa saya yang harus mengalami? Apa maksudnya? Tidak bisakah saya kembali ke masa itu mengubah semuanya?
Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui saya di setiap kali sujud. Apakah saya pantas meminta surga. Sebuah hal yang paling saya khawatirkan, apakah Tuhan memaafkan kesalahan itu. Bagaimana caranya saya tahu bila Dia sudah memaafkan?

Orang lain bisa memandang diri ini setinggi langit meski sejatinya diri ini lebih pantas berada di dasar laut dalam. Pada akhirnya, ada satu titik dimana manusia seperti saya harus belajar dan berani mengenalkan diri untuk mengenalkan diri secara utuh. Mungkin tidak kepada semua orang, hanya kepada orang-orang tertentu. Dan itu tetaplah sebuah hal berat.
Mengenalkan diri secara utuh. Mengenalkan diri secara paripurna, hingga tak satupun tertinggal untuk diberitakan. Perihal orang tersebut kemudian pergi, itu adalah sebuah konsekuensi. Beruntunglah bila orang tersebut bisa menerima kita. Sebuah hal yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh manusia seperti saya bahwa akan ada orang yang menerima saya sedemikian rupa.
Hidup ini sejatinya hanya perlu Allah, apapun yang didekatkan kepada kita adalah sarana kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Termasuk pasangan kita, orang tua kita, anak-anak kita, teman-teman kita, harta kita, dan apapun yang memenuhi hidup kita.

Belajar

Hidup adalah tentang belajar. Belajar memahami diri sendiri, mengerti akan hadirnya orang-orang disekitar kita, atau belajar menerima suasana yang kadang tak seperti ingin kita. Belajar dari pengalaman. Pengalaman yang membuat kita memilih dan memilah diantara yang buruk dan yang benar. Belajar adalah memupuk ilmu kemudian menumbuhkannya menjadi amal. Beramal mesti miliki ilmu, dan dengan ilmu kita dapat maksimal dalam beramal.

Awal mula wahyu Allah mengajarkan Nabi Saw untuk belajar. Belajar membaca. Membaca adalah bagian yang tak terpisahkan dari belajar. Belajar memahami teks dan konteks, baris demi baris ayat-ayat qauliyah dan hamparan nyata aya-ayat kauniyah. Dengan semua itu kita pun akan tersadar akan adanya Allah Yang Maha Besar.

Malas belajar adalah suatu kehinaan bagi manusia. Manusia yang malas atau bahkan enggan belajar telah membuat dirinya terjatuh dalam jurang kegelapan. Hidupnya akan gelap tanpa adanya cahaya ilmu. Dan bagi orang yang telah belajar maka semestinya ia terus haus akan ilmu. Belajar tak berhenti ketika kita sudah punyai gelar. Belajar laksana mengarungi lautan luas tanpa batas. Setetes demi setetes ilmu yang kita dapat mengantarkan kita pada hakikat.

Marilah belajar, belajar bukan hanya di sekolah, tapi dimana saja. Kita bisa belajar pada burung, pada pengemis tua yang kelaparan, karena ilmu itu berserakan dan tugas kita adalah menghimpunnya …url