Cinta : Hati atau Logika ?

Seorang teman saya bertemu dengan Andi Lau, bukan artis film Hongkong, tapi singkatan dari Antara Dilema dan Galau, hehe. Mengapa bisa terjadi galau? Katanya penyebabnya karena cinta. Cinta yang salah? Entahlah.

Dia mencintai pakai hati. Dan katanya lagi dia terlalu mencintai. Terlalu mencintai bisa menyakiti hati? Barangkali. Kemudian ada juga yang bilang kalau cinta mesti pakai logika. Logika hubungannya dengan otak dan pikiran. Lalu yang mana cinta yang sejati? Yang pakai logika atau pakai hati?

Menurut saya, dua-duanya penting dalam cinta. Hati adalah tempatnya rasa, bisa membuat perasaan berbunga-bunga atau gelisah gundah bercampur resah. Tanpa ada hati, kita tak bisa merasakan arti sebuah cinta. Namun, perasaan yang diikuti dan dituruti juga mesti sejalan dengan logika. Jangan karena hati bilang, perasaan bilang dia adalah cinta kita sampai-sampai akal sehat kita hilang. Gila karena cinta, sampai hilang sudah harga diri kita. Logika yang jernih membimbing kita benar dalam memilih. Memilih apa yang pantas kita cintai.

Tapi, hehe, ada tapinya. Cinta yang sudah pakai hati yang bersih dan logika yang jernih itu belum cukup. Harus pula cinta kita tunduk dan mengikuti aturan Ilahi. Kita mesti berserah kepada pemilik cinta, yakni Allah. Kita hanyalah manusia biasa yang berusaha memadukan hati dan pikiran menjadi sebuah kekuatan dan kenikmatan.

Hati harus dilatih untuk selalu yakin pada Allah. Cinta yang tulus tidak selalu mulus, kadang kita harus melawan arus. Masalah datang membuat kita goyah karena keyakinan kita yang lemah pada Allah.

Kita sadar diri ini milik Allah, orang yang kita cintai pun milik Allah. Allah tahu isi hati dan pikiran kita. Jadi kuncinya adalah Allah. Allah yang perintahkan kita untuk saling kenal mengenal, untuk saling mencintai. Hati akan sakit jika orang yang kita cintai tak menghargai cinta kita, tapi jika cinta kita karena Allah semua itu akan terobati. Sehingga kita sadar, bahwa cinta karena Allah akan memberikan kita benih untuk memilih pasangan hidup kita nanti.

Usai Shalat

Kita telah shalat tapi kita tidak bisa memberikan manfaat. Bagi diri sendiri, apalagi untuk umat. Shalatnya tidak bermakna apa-apa. Shalatnya mungkin sekadar ritual saja, hilang makna, ada yang salah barangkali.

Shalat dimulai dengan niat, dibuka dengan takbir. Betapa Allah yang Akbar, Allah Maha Besar. Kemudian kita pun mulai bercerita pada Allah, kita berdoa. Sebuah dialog pribadi, sebuah pertemuan pribadi.

Usai shalat, ditutup dengan salam. Salam kepada apa yang ada disekitarnya sambil menengok kanan dan kiri. Semoga senantiasa selamat. Setelah shalat, seorang manusia diminta kembali ke masyarakat. Menjadi rahmat. Menjadi perantara nikmat.

Bila shalat hanya untuk sekedar melengkapi kewajiban, shalatnya tidak akan lagi bisa mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar. Karena dengan shalat kita bisa membedakan mana salah mana benar.

Karena sudah terlalu banyak orang shalat tapi tidak seperti sedang bertemu Allah. Karena sudah terlalu banyak orang usai shalat tidak kembali ke masyarakat. Bagaimana dengan shalatmu? Shalatku?