Melebarkan Maaf

Tulisan ini sebenarnya mau saya posting tepat pada hari Lebaran, tapi sayang Warnet tutup semua 😀

Walau telat, saya tetap mau menulis buah pikir saya tentang Lebaran. Setelah Ramadhan, tibalah hari perayaan, yakni Lebaran. Bagi yang berpuasa selama sebulan, tentulah Lebaran adalah hari kemenangan, kemenangan melawan setan, dan kemenangan atas kembalinya fitrah kesucian. Tetapi Lebaran lebih dari sekedar perayaan. Dan semestinya tak perlu dirayakan dengan berlebihan, misalnya dengan menghamburkan uang membeli petasan.

Lebaran identik dengan maaf memaafkan. Sejatinya maaf memaafkan bukan hanya pada saat Lebaran. Saling memaafkan tak perlu menungggu waktu. Jika kita berbuat salah, maka tiada salahnya kita meminta maaf. Begitupun jika orang lain berbuat khilaf pada kita, maka maafkanlah dengan lapang dada. Memaafkan adalah suatu sikap kebaikan yang kapanpun bisa kita lakukan. Kalau kita hanya mengkhususkan maaf memaafkan hanya pada saat Lebaran, ditakutkan kita akan terjebak pada perbuatan bidah.

Di Indonesia, momen Lebaran adalah saat saling bersilaturahmi. Kalau lebih spesifik kedaerahan, khususnya di daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara momen itu disebut dengan Massiara. Massiara, konon diambil dari kata Ziarah yang bermakna mengunjungi. Mengunjungi keluarga dekat, karib kerabat, hingga teman sejawat.

Nah, kembali ke maaf memaafkan, hubungan antar manusia pastilah rentan dengan konflik dan clash yang bisa memicu kerenggangan hubungan. Karena hakikatnya memaafkan bukan hanya sekedar berjabat tangan, tapi harus berisi keikhlasan hati untuk melenyapkan kesalahan dan meredam dendam. Saya teringan sebuah petuah bijak bahwa tingkat tertinggi memaafkan adalah membalas kejahatan orang lain dengan kebaikan. Alhamdulillah, jika kita mampu mencapai tingkat itu.

Setelah kita berlebaran, mari kita melebarkan maaf serta meleburkan dendam. Selamat Lebaran, selamat Massiara, jika tulisan ini tidak berkenan, mohon dimaafkan … 🙂

Bening Sekeping Hati

Hati adalah cerminan diri. Senada dengan sabda Nabi SAW yang bermakna bahwa apabila sekeping hati dalam diri kita bersih, maka sikap pun akan terpuji. Ahli Hikmah berkata :

Bagaimana akan dapat terang hati seorang yang gambar dunia ini terlukis dalam lensa cermin hatinya, bagaimana akan dekat dengan Allah padahal ia masih terikat syahwat dan maksiat, bagaimana akan masuk cahaya ilmu Allah padahal ia belum bersih dari kelalaiannya, dari dosanya …

Kita tidak bisa merasakan dan merayakan nikmatnya mengenal Allah Yang Maha Agung, jika kita kotori hati ini dengan nista. Sehingga muncullah tabir yang menghalangi kita menemukan hikmah Allah, padahal menurut Ustad Erick Yusuf bahwa hikmah adalah “barang hilang” milik orang beriman yang harus dicari. Dalam setiap kejadian, dalam setiap ujian, kita semestinya harus mencari dan menemukan hikmah yang terkandung dalamnya.

Gelas bening berisi air bening, dimasukkan satu butir pasir, mudah terlihat mudah pula mengambilnya. Gelas kotor berisi air kotor, jangankan debu, paku yang berbahaya saja akan tidak terlihat. Begitu analoginya. Orang yang bersih hatinya kalau berbuat salah dan dosa, peka terhadap kesalahannya, mudah dirinya untuk bertobat. Orang yang hatinya kotor oleh maksiat, sulit hatinya untuk peka, bahkan terhadap dosa besar.

Gelas bening berisi air bening, seberkas cahaya mudah masuk dan merasuk mengisi setiap sisi. Gelas kotor berisi air kotor, sulit untuk diterangi dan disinari. Orang yang hatinya bersih, secercah ilmu bisa mencahayai dirinya, memperbagus akhlaknya, membahagiakan dirinya, serta bermanfaat bagi umat. Orang yang berhati kotor, walaupun sekelilingnya gudang ilmu, sukar hatinya meraih setitik ilmu. Makin bersih hati, makin kuat iman, mendengar nama Allah hati akan tergetar, seruan Allah diikuti dengan benar.

Sekali lagi, Ahli Hikmah berkata :

Alam itu sesungguhnya semuanya adalah kegelapan, sedang yang meneranginya hanya karena tampaknya kebenaran yakni hak Allah padanya. Maka siapa melihat alam dan tidak mampu melihat kasih sayang dan kebesaran Allah, berarti ada tabir yang menutupi hatinya …

Kenapa hati tertuupi? Karena terlalu banyak “benda” dunia yang menjadi tambatan dan tumpuan hati. Seperti orang yang sangat senang terhadap barang, takut barang itu rusak apalagi hilang. Padahal hilangnya barang yang disayang belum tentu keburukan. Mungkin Allah menolongnya dengan kehilangan agar hatinya tak terpaut pada materi. Boleh kita miliki dunia tapi jangan sampai hati terkotori, karena akibat terkotori hati menjadi tertutupi dari cahaya Ilahi.

Ya Allah, beri kami sekeping hati yang bening. Amin

*Tulisan ketiga di bulan suci ini

Meneliti Diri dan Merasa Berdosa

Setiap hari yang Allah beri, mestinya kita meneliti diri sendiri. Teliti hati, apakah ada ujub, riya, iri, dengki yang bersembunyi? Ataukah apakah diri ini senang dipuji? Selama ini, justru karena ingin memperlihatkan ibadah dan perbuatan baik, perlahan-lahan muncul benih-benih penyakit hati, merasa diri paling suci. Bulan Ramadhan kali ini, alhamdulillah Allah masih memberi kita momen latihan diri. Melatih ikhlasnya hati. Hanya kita dan Allah, dan bukankah Puasa adalah ibadah rahasia?

Sudah maklum bahwa manusia tak pernah luput dari dosa. Tidak masalah jika kita merasa berdosa. Merasa berdosa adalah langkah awal menuju pertobatan. Kita tak perlu merasa suci. Merasa berdosa mengantarkan kita bersimpuh dihadapan Allah dengan penuh penyesalan. Iman kita akan menjadi kuat dan erat melekat karena rasa sesal. Memohon ampunlah dengan doa berhias tetesan airmata. Itu lebih baik. Muhammad SAW, manusia termulia pun bersabda, “Seluruh anak Adam berdosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertobat”. Syahdan, Nabi SAW pun bertobat dan membaca istigfar 70 bahkan 100 kali setiap hari. Konon, Khalifah kedua, Umar bin Khattab pernah berkata, “Banyak orang yang berbuat kebaikan pada masa lalu, kemudian menyombongkan diri dengan kebaikannya itu, namun pada hari ini ia terjatuh dalam kemaksiatan. Namun adapula yang masa lalunya penuh dosa lantas ia bertobat hingga ia teguh dalam kebaikan hingga sekarang”.

Meneliti diri serta merasa berdosa, bagi saya adalah cara memperteguh iman. Iman yang menghujam dalam hati terdalam pun adakalanya goyah. Remuk redam iman kita saat dosa-dosa menyelimuti. Gairah ibadah menjadi lemah, seolah-olah lelah. Mari teliti diri, teliti hati, jika memang ada goresan dosa, mari akui pada Allah, meminta padaNya untuk dihapuskan.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami

*Tulisan kedua di Bulan Ramadhan ini. Tidak lebih baik yang menulis, yang lebih baik adalah yang mengamalkannya

 

 

Dan Doa Itu

Tulisan ini saya buat kala Ramadhan penuh berkah. Sebagai manusia yang kadang gundah dan goyah, saya sadar segalanya memang membutuhkan Allah. Bukankah kita sering berucap Laa Hawla Wala Quwwata Illa Billah?

Pun kita membutuhkan doa. Doa adalah senjata manusia. Sebait doa terucap pada Allah, kita merendah, kita menyembah. “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri …” Itulah sepenggal firman Allah dalam Surah Al Araf ayat 55. Dalam buku Menyambut Kematian karya Candra Malik, saya temukan kalimat bahwa doa adalah senjata utama orang yang beriman kepada Allah. Tidak pernah ada keajaiban yang mustahil bagi Allah untuk orang yang berdoa. Jika Allah menghendaki, berlaku Kun Fayakun atas setiap hal.

Ayat kedelapan Surah Al Lail menyindir manusia, “Dan orang yang bakhil dan merasa cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah). Orang yang malas dan enggan berdoa bisa dikatakan sebagai orang bakhil, kikir, atau pelit. Merasa dirinya bahwa ia tak perlu berdoa dan meminta pada Allah. Oleh karena itu, dalam surah itu orang yang seperti itu diganjar dengan jalan hidup yang sukar. Maka tiada alasan lagi untuk tidak berdoa karena kita adalah makhluk lemah. Memintalah pada Allah. Bisa pula dengan sholat, bukankah sholat juga merupakan doa?

Dalam keadaan sedih atau senang, sholatlah dengan tenang. Berusaha untuk menghadapkan hati pada pemilik hati. Sadari bahwa tiada yang abadi, setiap kita pasti mati. Sholat yang sejati adalah yang bisa membentengi diri dari perbuatan keji. Saya belum sesempurna itu dalam sholat. Saya akui diri, saya teliti diri, saya masih jauh dari itu. Tapi itulah, mari kita berdoa agar ibadah kita bernilai dan diridhai.

Selain berdoa sendiri, doakan pula orang lain, orangtua, saudara, serta sesama kaum Muslimin. Dan jangan segan pula untuk meminta didoakan, terlebih kepada ayah atau ibu, karena sesungguhnya doa orangtua sangat mudah dikabulkan Allah, bukankah ridha Allah senada dengan ridha ayah bunda?

Di sisa usia yang tersisa, jangan kita habiskan sia-sia. Isilah dengan doa dan ibadah, dengan ilmu dan amal. Yakin pula bahwa doa kita pasti dikabulkan oleh Allah, setiap doa akan di ijabah. Cepat ataukah lambat, bisa pula dalam bentuk lain yang Allah lebih tahu bagi kita. Apapun yang kita minta, Allah memberi yang terbaik bagi kita. Jadi jangan pernah kecewa, jangan pula berburuk sangka, karena Allah pencipta kita yang mengetahui segalanya …