Waktu Setiap Orang

Malam akan diganti pagi dan pagi pasti datang meski kita tidak menginginkanya. Hujan akan mengganti kering dan hujan pasti datang meski kita membencinya. Seperti itulah hidup.

Waktu-waktu yang kita takutkan dimasa depan pasti akan datang. Skripsi, hidup setelah kuliah, pernikahan, kehilangan orang tua karena kematiannya, apapun itu. Waktu-waktu yang saat ini kita tolak terus menerus dengan mengingkarinya. Waktu itu pasti datang.

Waktu-waktu yang membuat kita khawatir sekaligus penasaran itu pasti datang. Dan kita pasti akan melewatinya. Seperti halnya ketika kita dulu begitu cemas ketika akan Ujian Nasional semasa SMA yang dulu kita takuti, lihatlah sekarang. Itu sudah berapa tahun yang lalu terlewati, dan kita pun melewatinya.

Jika umur kita dipanjangkan Allah, sama dengan waktu yang akan terjadi dimasa depan. Skripsi itu pasti terjadi. Pernikahan itu akan terjadi. Hidup dalam dunia kerja itu pasti terjadi. Kematian orang tua kita itu pasti terjadi. Pertanyaan besarnya bukan pada apa yang terjadi pada kita ketika itu terjadi. Pertanyaannya adalah apa yang sedang kita lakukan saat ini untuk semua itu.

Orang yang bijak tidak akan mengingkari masa depan yang pasti semacam itu. Kepastian mengenai waktu. Setiap tahap yang satu persatu akan dan pasti terjadi. Maka hal terbaik yang bisa dilakukan tentu saja bersiap-siap. Kapanpun waktu itu datang, kita harus siap.

Tidak ada yang tahu kapan pernikahan kita tiba dan dengan siapa. Tidak ada yang tahu kapan orang tua kita mati, ayah yang dibanggakan, ibu yang dicintai. Itu hanya sebagian kecil dari jutaan hal mengenai waktu dan bagianGambar yang setiap orang akan melewatinya. Siap atau tidak, itu terjadi. 

Lebih baik adalah terus siapkan diri. Kita belajar mengenai kesiapan. Kita belajar mengenai keyakinan. Percaya bahwa kita hanya sedang menunggu waktu. Waktu sama sekali tidak menunggu kita siap dulu, waktu akan datang apapun yang terjadi pada kita. Siap atau tidak. Waktu tidak peduli. 

Waktu memang begitu. Segala waktu yang kita takutkan saat ini, yang kita khawatirkan saat ini. Fase-fase yang dialami oleh setiap orang, dan akan kita alami juga. Pasti akan sampai dan terjadi. 

Sudah siapkah untuk semua itu, atau kita masih terus saja menolaknya. Sayangnya waktu bukan orang yang bisa diajak ngobrol.

Tempat Kita Meminta Cinta

Sesungguhnya orang-orang yang jatuh cinta akan kembali kepada Tuhan,

Mencari sebab mengapa dia jatuh cinta

Mencari cara untuk menyelamatkan cintanya

Sehingga orang-orang yang jatuh cinta akan duduk manis memikirkan Tuhan

Merendahkan diri meminta kepada Tuhan

Lalu seolah-olah, hilanglah segala kegelisahannya

Dan pada akhirnya orang-orang yang jatuh cinta akan kembali kepada Tuhan

Setelah dan sejauh apapun dia mencari

Pada akhirnya dia hanya bisa meminta4976739408_83d6227822_z

Titik Temu

Cinta tak ada habisnya untuk diperbincangkan. Di dunia ini, cinta datang menyapa dengan beragam cara. Ada yang jatuh cinta karena tulisan. Ada juga yang jatuh cinta karena kebaikan tutur kata, bahkan karena suara.

Mencinta dengan alasan yang sederhana. Tidak membutuhkan kejadian yang penuh drama. Semua mengalir begitu saja.

Kini saya sadar bahwa perasaan itu bisa tumbuh tanpa diawali pertemuan. Pertemuan antara raga. Hanya saling tahu dari jarak yang jauh. Hanya saling berkirim kabar. Hanya saling mencari tahu satu sama lain. SayaGambar menjadi tahu bahwa pertemuan tidak selalu menjadi awal mula segalanya, tapi rasa ingin tahu.

Siapakah orang itu?
Siapakah gerangan dia?
Siapa namanya?
Mengapa dia begitu menarik?
Mengapa dia begitu baik?
Darimana datangnya?

Dan sejumlah pertanyaan yang menjadi titik awal juga titik temu.

Sampingan

Sikap Waktu

Dunia ini bagai waktu dalam garis lurus, memiliki awal, pun memiliki ujung. Dan kita tidak pernah tahu kapan dan dimana ujungnya. Detik yang terus berjalan, memiliki jarak yang dilalui dan tidak akan pernah kembali. Tidak akan ada ceritanya kita kembali ke masa lalu. Kita bisa flashback, tapi tak bisa comeback.

Kita, yang memiliki salah, masalah dan luka masa lalu, kita ingin memperbaiki masa lalu hanya bisa memperbaiki di masa depan. Masa lalu akan tetap begitu, mau sampai kapanmu. Tidak akan pernah bisa dikembalikan. Tidak akan pernah ada mesin waktu seperti di film Fiksi Hollywood.

Waktu adalah hal yang paling jauh dari kehidupan manusia. Jarak sedetik tidak akan pernah bisa dikembalikan. Setiap kata yang terucap tidak akan pernah bisa ditarik. Bagai busur panah yang mengarah sasarannya. Telah dicatat. Setiap laku akan dicatat oleh malaikat.images

Seperti itulah waktu. Banyak disia-siakan orang. Banyak dihujat dan ditangisi. Banyak diharap-harap dan dicemaskan. Sibuk memikirkan masa depan hingga lupa hari ini. Sibuk menangisi masa lalu hingga lupa masa depan. Menoleh kebelakang terlalu lama akan melalaikan mata dari jalan yang ada didepan. Kita bisa tersandung batu menghadang.

Sikapilah dengan cerdas, karena waktu pun punyai batas.

Yang Bisa Hilang

Mencintai yang sewaktu-waktu pergi, yang dapat diambil kembali. Akhirnya saya belajar bagaimana caranya melepaskan. Belajar bagaimana menyikapi kepergian.

Dan saya belajar mengosongkan diri dari apapun yang memenuhi. Hingga setiap ruang dalam hati terasa lebih lapang dari biasanya. Lalu mengisinya lagi dengan lebih tertata dan bijaksana.

Karena saya mencintai yang sewaktu-waktu mati, yang bisa saja menghilang. Saya belajar tentang kesendirian. Kadang menjenuhkan dan mengeruhkan perasaan.

Saya pun belajar membuat hari-hari terasa lebih lapang. Selalu siap dengan kehilangan. Selalu siap dengan kepergian. Sebab saya, sejatinya, tidak pernah memiliki apa-apa. Tuhan hanya menitipkan seseorang untuk saya cintai. 

Saya khawatir bila mencintai tidak dengan petunjuk-Nya. Saya takut ketika mencintaid953868550a2b774d14bd2478c16f39a justru mengundang murka-Nya. Saya sudah berusaha sebaik-baiknya menjaga diri. 

Teman Hidup Teman Ngobrol

Dahulu kala saat saya masih remaja labil yang belum stabil, sebagai laki-laki yang sedang tumbuh bulunya (hehe), saya selalu menyukai perempuan karena parasnya yang cantik, suaranya yang merdu mendesah, ataukah pada kulit putihnya yang bersinar bagai tehel masjid, dan juga matanya yang tajam menusuk sanubari.

Saya tidak tahu mengapa, bahwa suka seperti itu takkan berumur lama. Bukankah kulit putih itu bisa menghitam akibat terik matahari, suara indah bisa melengking mengaum ketika marah-marah, begitulah saya pada waktu remaja, pikirannya adalah menyukai apa yang ada saat ini di depan mata.

Padahal ada yang lebih penting dari itu, dan bisa jadi saya masih mengalaminya hingga saat ini. Saya selalu tersipu kepada kecantikan. Memang yang namanya pandangan pertama adalah nikmat, pandangan kedua dan seterusnya itu maksiat. Tapi saya selalu menikmati maksiat tersebut sampai-sampai saya sendiri lupa malaikat sudah menegur.

Jika kecantikan yang membuat saya menyukai seseorang dan kemudian menjadikannya teman hidup, bisa jadi umurnya tidak lebih lama. Kulit itu akan mengkerut menjadi jelek, mata itu akan sayu, suara itu akan menjadi keras. Lalu apa yang saya cari, kecantikan itu akan dimakan waktu.

Seorang arif-bijaksana yang entah (mungkin namanya Arif bin Bijaksana) saya temui berpetuah seperti ini : Kelak ketika kamu sudah tua, kamu hanya bisa ngobrol, maka menikahnya dengan orang yang asik diajak ngobrol.

Kata-kata bijak yang agak membingungkan ini tidak saya pertimbangkan sejauh ini karena kecantikan jelas nampak di depan mata. Tapi lama-kelamaan saya berpikir, benar juga adanya. Kelak ketika saya sudah tua dan dia juga tua tentu saja, kami berdua hanya bisa bicara, bercengkerama. Tentu saja memiliki teman bicara yang asyik-berilmu-berbobot-dan diselingi humor bisa membuat hari tua saya yang senja lebih hidup. Setiap hari ngobrol mengenang masa-masa muda tanpa bosan, habis shalat ngobrol, bangun tidur ngobrol, mau tidur ngobrol, jalan kaki sambil ngobrol, mengasuh cucu juga sambil ngobrol. Pembicaraan kami hanya dimengerti oleh kami berdua.

Ah saya masih muda, lantas saya pun bertanya si Arif tadi : bagaimana cara menemukan teman hidup yang asik diajak ngobrol ?

Dia tersenyum kemudian bilang : “Itu tugasmu, kamu akan menemukannya jika lebih membuka mata hati daripada mata kepalamu, belajar menjadi pendengar yang baik. Maka kamu akan bisa merasakan, apakah orang itu lebih suka bicara dan tidak bisa mendengar atau dia juga bisa menjadi pendengar yang baik sekaligus”.

*Semoga diberi umur dan pasangan yang beberkah. Amin

Lantas Kenapa Kita Malas

Kemarin, saya bangun subuh. Saya beranikan diri ke masjid untuk berjamaah (saya jarang sekali subuh berjamaah di masjid). Saya melihat, para jamaah masjid dominan adalah para orang yang tua, orang yang sudah lanjut usia. Ada diantara mereka adalah tetangga saya, yang saya tahu kondisi kesehatannya tidak baik. Ada kakek-kakek yang pernah terkena stroke, ada yang rematik, intinya mereka adalah orangtua yang kondisi tubuhnya tak sefit waktu masih muda. Kondisi kesehatan ini jelas bukan hal yang nyaman untuk mereka, setiap pagi buta pergi ke masjid melaksanakan shalat shubuh berjamaah.

Apalagi sekarang, cuaca juga tidak bersahabat karena sering hujan, jalan jadi becek, berlumpur dan licin. Ada juga jamaah yang rumahnya jauh pergi ke masjid naik mobil. Setiap mau pergi ke masjid pastilah mereka harus membuka pintu garasi dan pagar, memanaskan mesin, menutup kembali pintu, lalu bergerak menuju masjid.

Sesampainya di masjid, para jamaah memulai dengan shalat tahiyatul masjid 2 rakaat, kemudian setelah adzan berlanjut shalat sunat qabliyah 2 rakaat barulah melaksanakan shalat shubuh berjamaah. Setelah selesai shalat mereka tidak langsung berdiri pulang, ada yang berdzikir menyebut asma Allah lalu dilanjutkan dengan do’a. 

Lantas muncul tanya dalam hati saya, apa alasan mereka berbuat seperti itu? Alasannya adalah karena mereka memiliki iman dan rasa cinta kepada Allah. MUSTAHIL mereka mengerjakan semua itu kalau tidak berlandaskan kecintaan kepada Allah. MUSTAHIL mereka melaksanakannya hanya atas dasar menunaikan kewajiban dan menjalankan perintah. 

Maka malulah saya, malulah kita semua sebagai pemuda yang masih sehat segar dan bugar lantas malas berjamaah shubuh di masjid. Kita lebih memilih bergerak tak capek untuk berjalan di mall ataupun tempat hiburan dibandingkan berjalan berpahala menuju masjid. 

Ingin Mati Di Masjid

j80Nafas Pak Abdul tak beraturan, naik turun. Di rumahnya ia sendiri, sudah dua hari. Anaknya belum pulang dari melaut. Pak Abdul lelaki tua yang umurnya telah senja. Dua tahun sudah ia terbaring kesakitan. Kata orang-orang ia terkena penyakit karena terlalu sering menenggak minuman keras, bahkan hingga sekarang.
Jika menengok ke masa lalu, sikap Pak Abdul tak disenangi orang di kampungnya. Kerjanya hanya mabuk dan memajak nelayan-nelayan yang pulang melaut. Ia memaksa nelayan memberi sekeranjang ikan hasil melaut, atau kadang di tempat pelelangan ikan setelah nelayan menjual ikannya, Pak Abdul datang meminta setoran. Tak ada yang berani melawan. Semua orang tahu, Pak Abdul punya ilmu hitam, bisa membuat kepala orang lembek seketika.
Pak Abdul bangkit dari ranjangnya. Berjalan gontai keluar kamar menuju teras rumah. Angin laut berhembus berhawa panas disiang bolong itu. Tubuhnya begitu lemah dengan perutnya yang buncit membusung. Pak Abdul nampak ingin keluar rumah. Rais anak tunggal Pak Abdul, datang sepulang dari melaut. Dilihatnya bapaknya lunglai pucat pasi berdiri di depan pintu.
“Bapak mau kemana?”
“Mau ke mesjid”
“Untuk apa?”
“Bapak mau kesana”
Rais mengira bapaknya hanya bercanda. Diajaknya bapaknya masuk kembali ke kamar. Pak Abdul menolak, bersikeras ia ingin keluar. Ia betul-betul ingin ke mesjid. Rais mencoba menahan tapi tetap saja bapaknya melawan. Rais mengalah, ia kasihan melihat bapaknya yang sedang sakit keras. Rais berpikir itu mungkin permintaan terakhir bapaknya.
“Kalau mau ke masjid bapak harus bersih-bersih”
“Mandikan bapak”
Rais memapah bapaknya ke sumur belakang rumah. Dimandikannya bapaknya dengan air yang nampaknya begitu dingin, terlihat dari tubuh bapaknya yang menggigil setiap kali tubuhnya disirami air. Seusai mandi, Rais memakaikan bapaknya baju kemeja. Kemeja berwarna putih.
“Saya tak kuat harus menggendong bapak ke masjid”
“Panggilkan Ahyar dan Mail”
“Bukankah mereka membenci bapak?”
“Sekalian bapak mau pamit dan meminta maaf”
Ahyar dan Mail adalah tetangga Pak Abdul, dua bersaudara yang orangtuanya telah disantet oleh Pak Abdul. Mereka berdua sempat hampir membunuh Pak Abdul. Memang susah membuktikan bahwa Pak Abdul yang menyantet orangtua mereka. Tak ada bukti fisik yang memberatkan Pak Abdul dihadapan polisi. Walau begitu amarah dua kakak adik itu membuncah, mereka begitu yakin Pak Abdul bersalah. Suatu malam, di tengah malam buta mereka masuk ke rumah Pak Abdul hendak menikamnya. Parang tajam memang sempat melukai tangan Pak Abdul tapi tak mampu membuatnya mampus. Pak Abdul melarikan diri. Malah Ahyar dan Maillah yang harus meringkuk di jeruji besi akibat percobaan pembunuhan.
“Untuk apa kau datang memanggil kami menolong bapakmu itu?”
“Dia mau minta maaf pada kalian”
“Bantuan apa yang kau inginkan dari kami?”
“Bapakku ingin dibawa ke masjid”
“Untuk apa?”
“Entahlah”
“Orang pendosa seperti bapakmu itu tak pantas masuk masjid, dosanya selangit”
Wajah Rais lesu. Dia tak berhasil membujuk Ahyar dan Mail. Mereka menolak memberi bantuan. Rais pulang. Berjalan cepat menuju rumahnya. Tak ditemuinya bapaknya, tak ada bapaknya di rumah. Dicari ke setiap ruang namun tak nampak batang hidungnya. Dalam pikiran Rais, jelas cuma satu tempat tujuan kepergian bapaknya. Masjid.

Depan masjid sudah ramai. Orang-orang datang ada yang hendak sholat dhuhur, dan ada pula yang mendapat kabar bahwa Pak Abdul mendatangi masjid. Mereka datang untuk melihat Pak Abdul. Seperti sebuah keanehan. Sesosok manusia yang dikenal segudang dosa karena perbuatan jahatnya, kini masuk ke rumah Tuhan. Rais mendapati bapaknya tengah duduk bersila dalam masjid. Karena waktu sholat sudah masuk, Rais pun berwudhu untuk segera menunaikan sholat. Rais berdiri disebelah bapaknya. Mereka berdua menjadi bagian jamaah sholat.

Ditengah sholat, Pak Abdul ambruk. Jatuh ia ke lantai karena lunglai. Rais menghentikan sholatnya, begitupun dengan yang lain. Sepertinya ajal Pak Abdul sudah dekat. Sebentar lagi ia tamat. Jamaah mengerumuninya. Pak Abdul terbaring dipangkuan anaknya.

” Apa aku banyak salah dan dosa?”. Pak Abdul berucap pelan dan lirih. Semua orang diam. Tak ada jawaban. Sebenarnya dihati orang-orang jawabnya iya, tapi karena iba melihat Pak Abdul mereka semua bungkam.

” Kalian pasti tidak senang dengan saya kan?” Kembali Pak Abdul bertanya. Kali ini seorang bernama Pak Karim menjawab.

” Sebaiknya bapak tak perlu bertanya seperti itu, bapak mesti banyak beristigfar”

” Ah tak perlu, Tuhan tak mungkin menerima taubat saya. Saya sudah terlambat”

” Lantas kenapa bapak mau ke masjid dan sholat?” Rais menimpali.

” Bapak mau mati di masjid, biar orang-orang menilai bapak sebagai orang yang baik”.

Nafas Pak Abdul kini betul kian habis dan menipis. Tubuhnya tersentak berontak karena ruhnya akan segera berpisah dari jasadnya. Perlahan-lahan tubuhnya mendingin, menjadi kaku. Lepaslah sudah nyawa Pak Abdul dipangkuan anaknya, di sebuah masjid. Tak ada tangis yang mengiringi, bahkan dari anaknya sendiri. Harapan Pak Abdul agar orang mengenangnya sebagai manusia baik yang mati di rumahTuhan, mungkin saja terwujud. Entah.

 

Kutipan

Sampai saat ini…

Sampai saat ini, di detik ini, baru ada 3 perempuan yang belum bergeser tempatnya di hati saya, dan tidak akan pernah bergeser. Mereka adalah ibu dan dua adikku. Tapi nanti jumlah perempuan itu akan bertambah, mereka adalah istri, anak-anak, dan ibu mertuaku. Semoga Allah mengizinkan saya menambah nama perempuan di hatiku .