End Of A Happy Life

Terkadang perasaan takut mati datang menyelinap dalam hati saya. Entah nanti saya pergi dari dunia ini dengan cara seperti apa. Yah, saya atau setiap kita mendamba menghadap Allah dalam keadaan baik, sebagai seorang Muslim yang bertaqwa. Lebih singkatnya saya ingin mati dalam Khusnul Khatimah.

Jika saat ini kita dalam rasa taat kepada Allah, maka tak ada jaminan kelak esok kita berada dalam Khusnul Khatimah. Istiqomah dalam ketaatan itulah yang mesti kita jaga. Jangan kita menunda untuk selalu bertaubat, karena kita tak pernah tahu maut datang menjemput cepat atau lambat. Kita yang diberi karunia Allah untuk dekat padanya, bukanlah berarti lebih baik daripada teman-teman kita yang belum masuk cahaya ihsan dalam hatinya. Sebagai seorang manusia tugas kita adalah memberi nasihat dan menjadi manfaat.

Akhir yang buruk itulah yang ingin kita hindari.  Suul Khatimah adalah hasil akhir yang jelek. Suul Khatimah menghampiri manusia ketika ia terjatuh dalam rayuan dunia. Manusia yang tak bisa bangkit dari lubang maksiat, dan maut datang sebelum ia bertaubat. Luangkan waktu kita lebih banyak untuk kebaikan, berada dalam suasana dan tempat yang baik, karena jika Allah berkehendak, kita wafat di tempat yang mubarak.

Marilah senantiasa kita bermohon kepada Allah agar menganugerahkan kepada kita Khusnul khatimah dan melindungi kita dari Suul Khatimah. Amin. Wallahu’alam.

Cinta Yang Cukup

Membicarakan tentang cinta, mengupas dan membahasnya memang tak ada habisnya. Cinta dan cinta. Semua atas nama cinta, semua bertema cinta. Kita memang butuh cinta. Ah klise sekali yah …

Malam ini saya menulis tentang cinta karena tersadarkan oleh seorang teman saya di dunia maya. Saya bertanya padanya tentang hal yang di zaman sekarang ini begitu lumrah di kalangan remaja seusianya, Mengapa kamu tidak pacaran?

Jawaban yang saya terima begitu menyentuh. Seperti ini jawabannya :

Nah kembali lagi ke keluarga kak, ketika anak full of love dari orang tua, ketika seorang adik full of protection of brother, hidup jadi full blessing of Allah. Hehee. Berasa cukup mka dengan kasih sayang orang rumahku jadi nda pentingmi untuk dapatkan kasih sayang diluar rumah

 

Sungguh, ketika seorang manusia merasa bahwa cinta yang ada disekitarnya begitu berlimpah, maka tak perlu lagi ia mencari cinta yang bertopeng nafsu semata. Pacaran hanyalah mengaburkan cinta menjadi hasrat pemuas syahwat. Teman saya ini merasa cukup dengan cinta dari ayah dan bunda, dari saudara, bahkan dari sahabat yang sebaya. Ia tak merasa harus galau gundah gulana atau dadanya nyesek karena tak miliki seorang pacar. Ketika para remaja berasyik masyuk bermalam minggu diluar rumah, ia memilih berada dalam dekapan hangatnya rumah bercengkerama dengan keluarga. Bukannya ia tak miliki hasrat cinta kepada pria, tapi ia lebih memilih menunggu imamnya datang meminangnya, dengan cinta yang suci sesuai aturan Sang Pencipta Sang Maha Cinta, Allah Subhana Wataala.

Tulisan singkat saya ini adalah bentuk terima kasih atas diskusi-diskusi ringan dengannya. Saya mendapat secercah pengetahuan darinya, teman saya di dunia maya. Saya sadar bahwa ketika kita sudah merasa rumah dan keluarga memberi kita cinta yang hangat, maka tak perlu kita mencari cinya yang syubhat mengandung mudharat. Syukron WTH.

Semestinya Berubah

Kita adalah bagian semesta, manusia yang hidup di alam raya. Sesama manusia terjalin hubungan, dan didalam hubungan itu setiap orang selayaknya adalah guru kita. Kita belajar setiap makna yang terucap dan hikmah yang ditinggalkan dari setiap momen dari orang-orang disekitar kita. Karena hidup adalah perjalanan, dan perjalanan adalah satu momentum yang tidak boleh kita disia-siakan. Betapa suara suara riuh orang lain berupa pujian ataupun cacian dalam kepala kita menjelma. Menjelma menjadi bisikan pelan menenangkan, kadangpula suara gundah kekecewaan. Segenap pertanyaan dalam benak kita kian berlalu lalang. Pantaskah kita dipuji atau layakkah kita dicaci ?. Dan hati kita seakan lembut berkata: Kita punya waktu.

Waktu untuk berubah.

Kita semestinya tidak berusaha menjadi lebih baik dari orang, tapi kita berusaha menjadi lebih baik dari diri kita yang kemarin …

Inspirasi Teman dan Petuah Bijak

Inspirasi saya menulis tulisan ini adalah seorang teman saya semasa MTS dan SMA. Dia seorang wanita. Dulunya ia adalah remaja ABG yang jauh dari sikap Islami, walaupun fisiknya memakai jilbab. Selang beberapa tahun kemudian, saya mendengar kabar bahwa dirinya berubah drastis. Saya takjub mendengar bahwa sekarang ia telah menjadi wanita, bukan sekedar wanita, tapi ia menjadi muslimah sejati. Sungguh jilbabnya kini bukan sekedar tuntutan busana sekolah atau fashion belaka. Ia kini telah berniqab (bercadar). Terlepas dari polemik hukum memakai cadar-saya pribadi tidak melihat cadar sebagai hal wajib-namun saya bangga dengan perubahan dirinya. Saya lihat dari Facebook atau Twitternya, semuanya tak lepas dari dakwah Islami. Bahkan karena dia saya terinspirasi pula menulis puisi, judulnya Cadar Sang Dewi.

Di hari sebelum semuanya dimulai

Kau mengenang sejenak

Tentang dirimu yang penuh debu

Menyelimuti dan menggelapkan hati

Dan kau pun tiba-tiba berubah

Kau tak lagi lelah

Kini kau sepenuhnya dewi

Dibalik cadar yang menutupi

Kini kau seutuhnya dewi

Di dalam taman surgawi

Kini kau sesungguhnya dewi

Yang menyebarkan semerbak wangi

Tiada lagi resah di dada

Karena kau telah berjumpa

Dengan cinta yang sejati

Dengan cinta yang pasti

Yang bersamamu sampai nanti

Yang menemanimu hingga mati

Saya pernah membaca bahwa seorangtumblr_mpuaxyVadk1qcp3tuo5_1280 ahli bijak berkata: “Ada empat perkara yang nilainya baik, namun ada empat lainnya yang nilainya jauh lebih baik lagi, yaitu:

Pertama, adanya rasa malu pada kaum lelaki itu baik, namun lebih baik lagi bila rasa malu itu ada pada kaum wanita.

Kedua, adil pada setiap orang itu baik, namun rasa keadilan yang dimiliki oleh pemerintah itu jauh lebih baik lagi.

Ketiga, tobatnya kakek-kakek itu baik, namun lebih baik lagi adalah tobatnya kaum muda.

Keempat, bermurah hatinya kaum kaya itu baik, namun yang lebih baik lagi adalah bermurah hatinya kaum fakir miskin.

Sebagai penyeimbang. Disebutkan kembali bahwa sebagian ahli bijak mengatakan: “Ada empat perkara jelek, namun masih ada empat perkara lain yang lebih jelek lagi, yaitu:

Pertama, perbuatan dosa yang dilakukan oleh kaum muda itu jelek, namun lebih jelek lagi adalah perbuatan dosa yang dilakukan oleh kakek-kakek (orang tua).

Kedua, sibuk oleh segala macam urusan duniawi bagi orang bodoh itu jelek, namun yang lebih jelek lagi bila yang menyibukkan diri dengan urusan duniawi adalah orang ‘alim.

Ketiga, malas beribadah bagi orang awam adalah jelek, namun yang lebih jelek lagi bila malas beribadah itu dilakukan oleh kalangan ulama dan santrinya.

Keempat, berlaku sombong bagi orang kaya adalah jelek, nemun yang lebih jelek lagi adalah berlaku sombongnya orang fakir.

Demikianlah para orang bijak memberi nasehat kepada kita semua. Tidaklah terlalu mendesak untuk kita pusingkan siapa gerangan orang bijak tersebut. Namun alangkah baiknya jika kita menjadikan kedelapan poin diatas sebagai sarana memperbaiki diri.

Bukankah kita diperintahkan untuk melihat apa yang diucapkan bukan siapa yang mengucapkan?

Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin dialah termasuk orang yang beruntung, barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah termasuk orang yang merugi, dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah  termasuk orang yang celaka”.

Semoga kita dapat menjadi manusia yang selalu lebih baik pada setiap harinya. Aamiin.

Setapak Lorong

Kapal Ferry terasa pelan bergerak menyibak ombak lautan, memangkas kabut yang menyelimuti lautan antara Kolaka dan Bajoe dalam remang udara subuh setelah tujuh jam mengeja malam dan berlayar di Teluk Bone. Dan pada akhirnya aku akan bersua padanya di Makassar. Di tempat tinggalnya yang baru.

“Rima, aku sudah di hadapmu”

Sepatah kata itu masih menjadi kesukaanku daripada tulisan-tulisan puitis tentang senja yang tergelincir di barat. Deretan kata itulah yang menghadirkan temu dua mata kita diantara dua kota yang berbeda. Kisah kecil ini dimulai dari gorengan yang kita santap sebelum matahari merah merona. Di tepi pantai Losari. Dia bertanya tentang bagaimana perjalanan semalam dan aku menjawabnya dengan kalimat protes pada secangkir teh hangat yang kurang manis. Aku butuh gula lebih banyak agar otakku menangkap simpul saraf dari mataku yang fokus merekam jejak wajahnya. Pada saat itulah aku sadar, dia terlihat manis, lebih manis daripada teh yang kuseruput.

“Makassar panas kan?” tanyamu padaku.

Kujawab iya. Dan memang dia benar. Sepanjang hari ini panas matahari begitu menyengat dan tak ada pohon rindang yang memayungi kita. Aku bertanya kita hendak kemana dan hanya jawaban ikuti saja yang mendarat di telinga. Sesekali aku iseng menanyakan tentang jalan namun dia dengan sigap memotong kalimat tanya yang kulontarkan dengan baris yang cukup panjang dan masih saja dibubuhi dengan kata ‘ikuti saja’ setelah tanda koma.

“Aku sudah hafal setiap jalan di kota Makassar, ikuti sajaa!!!”

Dan akhirnya kita benar-benar tersesat setelah kamu berkata: “Oh iyaaaaaaa, harusnya tadi kita lewat sini, lalu belok kanan kemudian kiri”. Bibirku tersenyum saja dan pipinya tersipu malu. Tapi aku bahagia berjalan berdua dengannya menyusuri setapak lorong diantara rumah-rumah warga.

Lepas jam satu siang, setelah aku dan Rima berjalan menyusuri kota, melewati setapak lorong hingga tiba di jalan raya. Dan beginilah kiranya penggambaran hubungan kita. Bagai setapak lorong sempit yang tabah kita jalani hingga menemukan jalan keluar. Betapa dulu mati-matian aku memperjuangkannya. Ibuku tak mau aku menikah dengannya. Yah, sebuah alasan klasik, karena kita beda agama. Bersyukur akhirnya hidayah itu datang padanya, menyapa dan membawanya masuk ke dalam agamaku. Tapi sayang, setelah Rima memutuskan mengikuti imanku, orantuanya lagi yang tak merestui hubungan kita. Orangtuanya di Tana Toraja bahkan berniat mengusirnya jika memilih menikah denganku. Dan sekali lagi aku bersyukur, dia bertahan denganku.

***

Ramai orang bilang kalau aku dan Rima berpacaran. Anggapan itu salah. Aku dan dia menjalin cinta dalam ketaatan, kami berniat menyatukan cinta ini dalam pernikahan. Kisah cinta aku dan Rima tak melulu manis, kami, layaknya pasangan biasa juga pernah mengalami masa-masa penuh drama. Dua tahun yang lalu, aku mendapatkan kesempatan untuk bekerja di  Kolaka sebagai marketing perumahan dan Rima tidak bisa menerima kenyataan itu.

“Aku takut, rasanya ku tak bisa menjalin hubungan jarak jauh”

“Tak perlu galau. Sekarang kan jaman udah canggih, kita kan masing-masing punya akun sosial media?”

“Tapi hanya di dunia maya”

“Aku akan pulang”

“Tapi tidak sering”

“Tinggal sekota juga kita jarang bertemu kan? Sama saja. Tidak mungkin lah aku lupa sama kamu. ”

Pernah aku dan Rima bertengkar dikarenakan salah paham. Ada temannya yang membuat fitnah kalau aku di Kolaka telah selingkuh dengan seorang anak SMA. Rima terhasut. Ia menuduhku macam-macam. Dengan segala cara aku berusaha memberi bukti bahwa aku tak pernah menduakannya. Akhirnya, mungkin karena cintanya padaku, akhirnya dia percaya.

Dan semuanya kembali normal.

Lamunanku buyar seketika Rima menepuk bahuku dan berkata : “Ini rumah Pamanku, Paman Markus, dia mualaf. Dia yang akan menjadi wali pernikahan kita esok”. Ternyata inilah tujuan Rima mengajakku ke Makassar.

Rima mempersilahkan aku masuk kerumah pamannya. Betapa senang hatiku. Akhirnya ada juga keluarganya yang menjadi wali untuknya, sebagai syarat sahnya pernikahanku dengannya. Dan tentunya dengan mahar semampuku. ddd

Rima, terima kasih sudah memilihku menjadi imammu.

Upacara Pemulung

Bersahutan kokok ayam jantan. Langit di ufuk timur berwarna keperakan. Fajar baru saja menyingsing. Aku segera Kaum-Miskin-Di-Indonesia-PenulisHidupku.Com-2membangunkan Anto. Anto sama sepertiku, sama-sama seorang pemulung, sama-sama bocah yang tak punya lagi orangtua.
Pagi ini kami harus pergi memulung. Sama pula seperti hari-hari kemarin. Rongsokan, sampah plastik, dan kardus bekas adalah incaran kami. Butir-butir embun menyentuh telapak kakiku yang telanjang. Udara pagi memang menyegarkan, walau kadang pula hawanya membuat tubuh kuruskeringku ini menggigil.
“Bagaimana kalau hari ini kita ke perumahan orang kaya, kita memulung disana. Disana banyak rongsok plastik” kata Anto sambil matanya terus melihat disekeliling barangkali ada sampah yang bisa dipulung.
“ Kita ke sekolah saja, anak-anak pasti banyak yang buang sampah sembarangan”.
Anto mengangguk. Kami pun segera ke sekolah dasar dekat dari tempat tinggal kami. Ah, sebenarnya tidak berhak aku menyebutnya sebagai tempat tinggal, yang tepat adalah tempat kami numpang tidur. Emperan toko.
Matahari mulai terik. Tibalah kami di depan gerbang sekolah. Teriakan anak-anak bermain terdengar jelas. Sekolah itu sebenarnya pernah menyimpan harapan bagiku. Aku pernah bersekolah walau hanya sampai kelas 5 SD. Di halaman sekolah terdapat tiang bendera. Pada tiang itulah, aku ingat aku pernah menaikkan bendera Merah Putih saat upacara bendera.
Terdengar lonceng berbunyi. Anak-anak berlarian bersorak-sorak menuju halaman sekolah. Semua berkumpul membentuk barisan. Oh rupanya ini adalah hari senin. Mereka pasti akan melaksanakan upacara bendera. Aku dan Anto tanpa aba-aba segera pula menghadap ke tiang bendera dan berdiri tegap. Kami seolah-olah bagian dari barisan anak-anak sekolah.
Dari kejauhan aku melihat dua orang anak bergerak menuju tiang bendera. Tak lama kemudian Sang Dwiwarna perlahan-lahan dinaikkan.
“Hormat bendera, grak!”Sayup-sayup aku mendengar aba-aba itu.
Kami terhipnotis dengan lagu Indonesia Raya. Kami pun hormat dan menurunkan tangan begitu mendengar aba-aba dari kejauhan.
Tiba-tiba bunyi klakson mengangetkan dan membuyarkan perasaan khidmat kami. Ternyata aku dan Anto berdiri di tengah jalan. Sebuah motor ingin lewat.
“Hei, pemulung, kenapa berdiri ditengah jalan? Mau mati yah!”.
Seorang bapak pengendara motor menghardik kami.
“Kalian sedang apa ditengah jalan?” Bapak itu kembali bertanya.
“Kami sedang ikut upacara bendera, Pak” Anto menjelaskan.
“Hah!” Bapak itu membelalak, lalu tertawa terbahak-bahak. “Kalian kalau mau upacara yah di sekolah, jadi anak sekolahan dulu”.
“Sungguh kami ikut upacara itu,Pak” kataku dengan wajah serius.
“Wah kalian pemulung gila. Kalian mengkhayal menjadi anak sekolah, ya! Siapa pun tahu kalau orang yang mencari rongsokan sampah itu namanya pemulung, bukan anak sekolah. Sudah pergi sana, jangan berdiri di tengah jalan!”.
Aku dan Anto saling memandang dan segera pergi. Ucapan Bapak itu sungguh menyakiti hati kami sekaligus menyimpan tanya. Benarkah upacara bendera itu hanya untuk anak-anak sekolah sedangkananak pemulung seperti kami tidak boleh ikut? Kami juga anak bangsa. Kami pemulung pun terlahir di Indonesia.
Anto tiba-tiba saja tertawa lepas, mungkin ia menertawakan kelakuan kami tadi. Sambil mengais-ngais tempat sampah di salah satu rumah orang kaya.
“Kita memang pemulung, bukan anak sekolah. Bapak tadi berkata benar, pemulung tak pantas ikut upacara bendera”
“Tapi aku dulu pernah sekolah”
“Itu dulu”
“ Tetap saja aku dulu pernah sekolah”
“Ah sudahlah, ini aku dapat sisa makanan, mari kita makan”
Dengan lahap kami pun makan.

Aksan Lukman
Kolaka, 5 Maret 2014
20.30 WITA

Panasnya Pomalaa

Kolaka adalah kota tambang, tambang nikel ada disini. Tepatnya di Kecamatan Pomalaa. Jika dari pusat kota Kolaka ke Pomala yah jaraknya sekitar 30 km. Siang hari di Pomalaa sangatlah panas, kering dan berdebu. Pomalaa telah menjelma menjadi daerah yang betul-betul panas.

Banyak truk-truk besar lalu lalang disana. Melaju kencang di jalan yang sempit. Sangat tidak meyenangkan. Jalan propinsi yang sebenarnya digunakan dengan nyaman oleh masyarakat kini jadi jalan produksi. Untunglah sekarang jalan yang berlubang sudah rata setelah diaspal.

Lubang bukaan tambang tersebar di berbagai tempat. Semua tampak acak-acakan. Para penambang disini hanya mengejar produksi. Seakan tidak peduli dampak terhadap lingkungan yang terjadi akibat tingginya aktivitas pertambangan yang mereka lakukan. Bijih nikel dengan kadar rendah dibuang begitu saja. Mereka hanya mengambil nikel yang memiliki kadar tinggi, kemudian dijual mentah dengan harga murah. Sungguh ironis.

Hasil tambang semestinya dikelola dengan bijak dan benar. Jangan hanya sekedar jadikan Pomalaa sebagai areal produksi tanpa menjaga alam yang hijau. tumblr_lt4resLD0E1qepqcuLalu, dimana peran dari pemerintah daerah setempat? Apakah mereka benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu akan buruknya atmosfer pertambangan di Pomalaa ini?

Gadis Berpipi Tomat

Mobil meliuk-liuk menuruni jalan berbatu. Pohon palem menghiasi di tepi kanan kiri jalan. Nampak pula beberapa bunga kamboja berwarna merah diantara semak belukar. Matahari senja mulai muncul malu-malu. Cahayanya menerobos celah-celah dedaunan pohon. Hawa sejuk terasa menyentuh kulit dengan lembut.

Kakek menghentikan mobil ketika sampai di sebuah pekuburan. Ardian yang sejak tadi tertidur dalam perjalanan dibangunkan. Anggi pun segera turun dari mobil.

Mereka bertiga berjalan menuju ke sebuah makam. Mata Anggi tertuju pada batu nisan. Dalam ingatannya terbayang wajah mendiang ayahnya. Teringat masa kanak-kanaknya. Masa dimana segala alur hidupnya berjalan indah. Ketika ayahnya masih ada di dunia, ia bahagia.

” Kenapa Ibu tak mau ikut ziarah, kek?” tanya Ardian.

” Kakek tak tahu, Ibumu mungkin lagi banyak urusan”.

” Ibu terakhir ziarah kapan?” Anggi juga mulai bertanya.

” Tiga bulan lalu. Sendirian ia kesini”.

Ardian terdiam. Diamnya menambah hening suasana pekuburan. Anggi tahu, adiknya tak suka perjalanan ini. Tapi karena Ibunya pergi, Ardian sendiri dirumah, terpaksa ia ikut Anggi dan Kakek berziarah kubur.

Anggi baru saja tamat SMA. Bisa dibilang masih remaja. Tahun ini ia akan mengenyam bangku kuliah. Tapi wajahnya masih sama. Pipinya masih tembem dan sering memerah. Wajar jika teman-temannya memanggilnya pipi tomat. Ia gadis yang lincah dan ramah. Ayahnya wafat ketika ia masih kecil, masih sekolah dasar. Tak lama kemudian ibunya menikah lagi dengan seorang perwira polisi. Dari pernikahan itu lahirlah Ardian, adik tirinya.

Pada mulanya Anggi senang. Ia merasa mendapatkan lagi sosok seorang ayah. Walaupun seorang ayah tiri. Ayah tiri Anggi memang membuat Anggi merasa sosok ayah kandungnya tergantikan dengan kehadirannya. Anggi dimanja, diperhatikan layaknya anak kandungnya sendiri. Namun masa bahagia yang dialami Anggi perlahan memudar. Apalagi setelah Ardian lahir. Sikap sang ayah tiri berubah. Tak lagi sama.

Semenjak Anggi beranjak remaja memasuki SMA, pertengkaran demi pertengkaran antara ibu dan ayah tirinya menjadi santapannya sehari-hari. Hati Anggi penuh dengan kesabaran. Setiap kali ayah tiri dan ibunya bertengkar. Ia segera mengasingkan diri ke kamarnya. Mengunci pintu rapat-rapat sambil mendengarkan musik keras-keras. Anggi tak habis pikir, terkadang pertengkaran tersulut hanya karena masalah kecil. Hanya karena ibunya telat pulang ke rumah, ayah tirinya jadi marah. Padahal ayah tiri Anggi sudah paham betul kalau istrinya adalah seorang wanita sosialita yang gemar keluar rumah. Ibu Anggi memang tak biasa tinggal dirumah, memasak, atau menunggu suami pulang kerja. Ia lebih menyukai arisan atau pergi jalan-jalan. Tentunya bersama temannya sesama sosialita.

“Anggi, ibumu kemana?” ayah tiri Anggi bertanya sepulang dari kerja.

“Aku tak tahu”.

Anggi berlalu saja menuju kamarnya tanpa menghiraukan wajah ayah tirinya yang nampak beringsut. Sejak tadi pula Anggi pening bercampur kasihan mendengar Ardian mencari ibunya. Namun Anggi mampu membujuknya dan berhasil membuatnya tertidur pulas.

Anggi pernah bertanya dalam hatinya, apakah dulu ayah kandungnya juga sering bertengkar dengan ibunya?. Ia tak pernah tahu, sebab saat itu Anggi masih seusia Ardian, masih bocah SD ingusan. Namun, yang erat melekat dalam ingatan Anggi adalah kasih sayang dari ayah kandungnya. Anggi ingat pernah ia digendong seharian ayahnya berkeliling kebun binatang, membelikannya boneka beruang, betapa saat itu perasaan Anggi begitu senang.

Semuanya hanya kenangan dalam ingatan. Semuanya telah dibuat beda oleh waktu. Suasana telah berubah. Apabila Anggi merasa kesepian atau jika dirumah ia jenuh dengan pertengkaran, ia keluar bertemu teman-temannya. Ia temukan sedikit hiburan dan kesenangan. Canda tawa yang membuat pipinya kembali memerah. Merah bagai tomat yang segar. Anggi gadis yang tegar.

 

 
s