Jangan Jadi Mereka

Kini kita bicara asing. Kita mulai bersaing.

Menjual gengsi, hampa hanya ilusi yang menjadi basi.

Kita melangkah diantara peradaban dan kebiadaban.

Gambaran imaji dari televisi. Otak kita sudah dicuci.

Semuanya serba luar negeri.

Dan berharap kita terapkan di sini.

Tanpa malu dan begitu yakin.

Begitu yakin bahwa kita adalah bagian dari dunia.

Menjual agama bertukar budaya.

Itulah mereka.AmericanFlag

Tapi aku tak ingin jadi mereka …

Bocah itu bernama Ikram

Pengalaman pertama kali bagi saya harus pergi ke sebuah desa yang begitu jauh. Demi sebuah tugas Kuliah Kerja Amaliah, saya dan lima orang kawan harus berada di desa itu selama 40 hari. Desa itu bernama Lamoiko, sebuah desa terjauh di Kecamatan Tanggetada Kabupaten Kolaka. Sebuah bentuk pengabdian masyarakat. Disana kami menginap, makan, di rumah Kepala Desa yang juga kami jadikan sebagai posko.

Ada seorang bocah yang begitu menarik perhatian kami. Ia adalah anak dari seorang pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah Kepala Desa. Bocah albino, kami juga menyebutnya “Buleng”. Warna kulitnya yang putih, rambutnya yang pirang  membedakannya dengan anak-anak yang lain di desa itu. Nama bocah itu Ikram. Ikram masih duduk Sekolah Dasar. Bocah ini sangat pemalu. Waktu pertama kali kami datang, ia bahkan tak mau mendekat pada kami. Kata ibunya memang sifatnya seperti itu, anak yang pasif.

Seiring waktu kami berada di desa itu, melakukan berbagai kegiatan, mengadakan pengajian ataupun lomba-lomba islami, Ikram mulai perlahan lahan menjadi anak yang riang. Mungkin memang Ikram tidak terbiasa mengenal orang baru. Ikram termasuk anak yang rajin sholat di mesjid. Walau kadang-kadang ia juga jahil mengganggu temannya. Namanya juga tingkah anak-anak, itu hal yang wajar.

Semoga Ikram menjadi anak yang pandai, alim, dan berprestasi. Dan semoga saya bisa bertemu lagi dengan bocah albino itu, Ikram.1

Di Tengah Malam

Menunggumu di tengah malam

Ada cerita yang ingin kusampaikan

Terlarut bersama kabut, aku diam

Dingin yang mencekam, wajah muram

Karena tak seperti apapun di dunia

Kau berbeda

Tak pernah sama apa yang ku7595997234_b5c4114520_zrasa

Dan bila kau tak datang

Aku takkan pernah pulang

 

Terjebak Khayalan

Adzan Isya belum berkumandang. Wajah Imran terlihat ngantuk, sekali-kali ia menguap. Adiknya, Marwan duduk bersandar di tiang gubuk. Ayah dan ibu mereka sudah meninggal setahun yang lalu. Setelah orangtua mereka meninggal, hidup mereka sebatang kara, sampai akhirnya Haji Ahmad mempekerjakan mereka sebagai pengembala kambing.

Imran sudah membungkus dirinya dengan kain sarung, sedang Marwan masih duduk depan gubuk mengawasi kandang kambing.

“ Masuklah Wan, sudah malam,” kata Imran dari balik kain sarungnya.

“ Belum malam, aku pun belum shalat Isya,” sahut Marwan

Imran tersentak, seakan-akan diingatkan oleh adiknya. Ia langsung bangkit.

“ Astagfirullah, aku juga belum shalat.”

Segera Imran turun dari gubuk menuju sumur . Siraman air wudhu terasa menghilangkan rasa ngantuknya. Wajahnya segar kembali.

Marwan juga shalat Isya menjadi makmun dibelakang kakaknya. Waktu sesudah shalat bagi mereka adalah saat-saat yang paling menyenangkan. Ada kenikmatan, ketentraman yang merasuk ke dalam hati mereka, ada kebebasan. Mereka serasa telah melunasi utang-utang yang menggunung.

Bintang-bintang malam itu berkedip bersama bulan yang sempurna purnama. Sudah setahun mereka bekerja sebagai pengembala kambing Haji Ahmad. Banyak suka duka yang mereka alami, meskipun dalam kenyataan dukalah yang lebih banyak. Setiap hari sejak fajar terbit hingga mentari terbenam, mereka mengembalakan kambing, menjaga kambing, dan menyabit rerumputan.

Upah mereka satu hari sepuluh ribu rupiah. Makan dua kali sehari, pagi dan malam. Hidup mereka memanglah pahit, namun tidak ada pilihan lain. Ayah tidak punya, Ibu pun telah tiada. Beruntung Haji Ahmad bertemu mereka di mesjid. Haji Ahmad tersentuh hatinya dan iba kepada mereka.

Sebenarnya dulu Imran pernah bersekolah sampai kelas tiga sekolah dasar, sedangkan Marwan hanya sampai kelas dua sekolah dasar. Keadaan telah memaksa mereka putus sekolah. Pekerjaan mereka sekarang adalah mengawasi kambing-kambing supaya tidak masuk kebun orang lain.

Di malam purnama itu, mereka menghitung-hitung penghasilan. Sepuluh ribu rupiah dikali duabelas bulan.

“ Mungkin uang kita sudah banyak,” kata Marwan membuyarkan keheningan malam. “Kalau dibelikan kambing betina mungkin sudah beranak banyak”.

“ Pelihara kambing harus punya kandang, kau mau simpan dimana?”.

“Mungkin Haji Ahmad mau memberikan sepetak tanah untuk kandang kambing kita”.

“Mana mungkin!” sahut Imran.

“Selama ini kan upah kita simpan pada Haji Ahmad dan belum pernah kita ambil. Bagaimana kalau kita usul kalau upah kita dalam bentuk kambing saja?”

“Benar,” kata Imran. “ Saat kita mulai bekerja disini, kambing Haji Ahmad baru enam ekor. Satu jantan dan lima betina. Sekarang kambingnya sudah jadi tiga puluh ekor.”

Mereka berdua saling memandang. Mereka berdua menerawang ke alam khayal.

“ Kalau kita membeli kambing betina, pasti akan beranak banyak.” Marwan mulai berkhayal. “Satu ekor betina akan beranak dua. Anaknya nanti beranak lagi. Maka lama-lama kambing kita akan berpuluh-puluh.”

“ Saya adalah kakakmu. Bagian kakak harus lebih banyak daripada adik,” kata Imran. “Jika kambingnya ada empat puluh ekor, maka saya dapat duapuluh lima dan bagianmu lima belas ekor.”

“Itu tidak adil namanya,” protes Marwan. “Mestinya saya dapat sembilan belas ekor.”

“Bagianku akan akan kujual semua,” lanjut Imran. “Uang hasil penjualan akan kubelikan tanah  dan akan kutanami sayur mayur. Rencanamu bagaimana?”

“Akan kujual sebagian kambingku untuk membeli sepetak tanah disamping kebunmu untuk kujadikan kandang.”

“Kalau begitu kamu harus bikin pagar sebagai batas tanahmu dan tanahku.”

“Aku tidak mau.”

“Kamu harus bikin pagar pembatas!,” kata Imran. “Kamu kan tahu tanahku ditanami sayur mayur. Kambingmu pasti akan merusak tanamanku, dan kamu harus mengganti kerusakannya.”

“Tidak bisa,” kata Marwan.” Kambingku tidak salah, kambing tidak bisa membedakan mana rumput mana tanaman sayur.”

Imran mulai emosi, matanya melotot. “ Kambing yang memakan tanaman orang lain jelas bersalah.”

“Kakak yang salah, kenapa tanam sayur didekat kandang kambingku. Aku tidak akan membayar ganti rugi.”

Tanpa banyak bicara lagi, Imran memukul wajah adiknya. Rasa sakit pukulan Imran di pipi Marwan menyadarkan mereka dari khayalan. Mereka sadar mereka bertengkar karena khayalan. Segalanya masih dalam angan-angan kosong belaka.

“Astagfiurullah,” mereka mengucap istigfar dan saling berpandangan.

Cahaya purnama semakin benderang seiring larutnya malam. Mereka diam. Tidak lama kemudian mereka terlelap dalam kelelahan.

03love-500

Ibu, aku demam

Senja yang dihiasi gerimis turun di pekuburan. Aku datang untuk berziarah ke makam Ibu. Tempat peristirahatan terakhir Ibu. Aku bersihkan makam itu, kutaburi bunga yang kupetik kemarin. Bunga melati, kesukaannya.

Aku menghela nafas, kucoba pejamkan mata dalam-dalam. Terasa aku larut dalam keheningan, berbaur dalam suasana pekuburan yang sunyi. Dalam hati sesungguhnya aku tidak suka suasana duka ini. Perlahan aku mengingat kembali wajah Ibu. Walau memori itu sudah lama kusam, aku mencoba untuk menjernihkannya kembali.

Sewaktu masih berusia sembilan tahun, maut pernah datang menghampiriku. Aku jatuh sakit. Kata dokter, aku terkena Tipes. Demam melanda, panas tinggi ketika memasuki waktu sore. Hingga malam hari badanku menggigil. Diriku tak berdaya kala itu. Berat badanku terus menyusut menjadi kurus. Helai demi helai rambutku rontok.  Ibu satu-satunya orang yang peduli. Oleh kasih sayangnya, Ibu bagai malaikat disampingku, lebih dari seorang perawat.

“ Ibu, Ibu, aku tak mau minum obat, pahit sekali Bu”,

“ Biar nanti Ibu tambahkan gula, pahitnya akan berkurang, ini supaya kau cepat sembuh”.

Disaat ku terbangun tengah malam, saat Ayah dan kakak ku lelap tertidur. Ibu terjaga menemaniku. Ibu membuatkanku secangkir teh hangat. Ku sambut teh itu dengan tangan yang lemah. Aku hirup teh hangat itu. Ibu tersenyum padaku.

Itulah saat-saat aku dan Ibu begitu dekat. Terasa dekat sekali. Sampai dalam mimpi pun yang aku lihat hanyalah wajah Ibu. Aku terapung-apung dalam ingatan masa lalu tentang Ibu. Gerimis  yang turun di pekuburan seakan seirama dengan airmataku yang berlinang.

Aku masih mengingat, setelah tiga bulan diriku sakit, Tuhan memberikan kesembuhan. Aku tumbuh menjadi segar kembali. Namun, rumah tangga Ibu dan ayah menjadi retak. Setiap malam terjadi pertengkaran hebat. Ibu tahu kalau Ayah berselingkuh dengan seorang pelacur. Saat itu aku sudah duduk di bangku SMA.

“Kau pasti melihat Ayahmu pergi dengan pelacur itu bukan?” tanya Ibu dengan suara yang berat.

Aku tak menyahut. Namun bagi Ibu, diamku adalah sebuah jawaban. Kemudian di detik selanjutnya, aku dan Ibu menangis. Ibu membelai rambutku, menasihatiku agar tabah dengan keadaan ini.

Akhirnya, Ibu dan Ayah bercerai. Kakakku ikut Ayah, entah kemana mereka. Setamat SMA, oleh Ibu aku dititipkan kepada Paman di kota. Saat aku mendaftar di salah satu perguruan tinggi di kota itu, aku mendapat kabar dari Paman. Ayah dan kakakku meninggal. Mobil yang mereka tumpangi terguling jatuh ke jurang. Perasaanku bercampur aduk.

Aku tetap berkuliah dibiayai oleh Paman. Hingga sarjana. Aku terbujuk oleh temanku untuk hijrah ke luar negeri. Katanya disana gajinya tinggi, dan aku dibutuhkan oleh perusahaan sebagai pengawas pabrik. Aku tergiur. Aku berangkat kesana tanpa pamit kepada Ibu di desa.

Sepuluh tahun aku bekerja di luar negeri. Tak pernah sekalipun aku mengirimkan apa-apa kepada Ibu, bahkan untuk sebuah kabar. Aku tergerus kehidupan zaman modern, aku lupa bahwa aku seorang anak desa. Uang telah membutakan mataku.

Bayangkan, betapa rindunya Ibu padaku. Hingga pada suatu pagi, sebuah surat tiba di meja kerjaku. Aku tahu pengirim surat itu, sebuah nama, nama Pamanku. Surat itu mengabarkan, Ibu telah tiada. Ibu menderita TBC akibat tekanan batin, rindu yang dahsyat kepadaku.

Kabar kematian Ibu, membuatku menjadi. Aku terasa layu. Pekerjaanku sering terhambat, daya pikirku melambat. Aku merasa berdosa. Dosa kepada Ibu karena meninggalkannya sendirian. Bahkan disaat ajal menjemputnya aku tak ada disampingnya. Karena alasan itulah, akhirnya aku berhenti bekerja dan perusahaan memulangkanku.

Kini, setiap menjelang Bulan Ramadhan, aku sempatkan berziarah ke makam Ibu. Dan disana, aku selalu merasa melihat senyuman Ibu. Kenangan tentang Ibu masih melekat, terasa hangat bagai pelukannya. Entah, seandainya waktu dapatku ulangi, rasanya aku ingin selalu jatuh sakit, aku ingin selalu demam, karena disaat itulah aku dan Ibu begitu dekat.25LOVE-articleLarge

Non Job

Wajah Pak Maman merah padam. Tak seperti biasanya, masih pagi ia sudah pulang ke rumah. Gerah sekali hati Pak Maman pagi ini. Bukan karena panasnya terik matahari, tapi karena kegerahan yang berasal dari hatinya yang marah.

“ Kenapa Bapak cepat sekali pulang, ini masih jam sembilan,” kata istrinya. Pak Maman langsung duduk tanpa membuka sepatunya. Istrinya menangkap raut wajah marah Pak Maman.

“Ada masalah apa Pak?”. Kali ini suara istrinya agak tinggi.

Sambil membakar rokoknya, Pak Maman berkata, “Aku dipecat, Harto menggantikanku sebagai Kepala Sekolah”. Istrinya menunduk. Seakan dibiarkannya kepulan asap rokok suaminya menutupi wajahnya. Ia sedih.

“ Harto memang penjilat, ia keluarga dekat Pak Bupati. Sebulan setelah pelantikannya, Bupati itu mengangkat keluarganya sebagai pejabat, dilengserkan orang-orang yang berseberangan dengannya, termasuk aku,” kata Pak Maman yang masih nampak marah.

Ratih, anak kesayangan Pak Maman  datang, ia melihat Bapak dan Ibunya dengan raut wajah yang tak biasa. “ Ada apa Pak? Bu?”. Pak Maman diam. Sesaat hening. Istri Pak Maman menegakkan kepalanya.

“ Bapakmu dipecat”.

“Kenapa Bu? Apa salah Bapak?” Ratih kaget mendengarnya.

“Bapak dianggap tak sejalan dengan Bupati nak, Bapak dituduh mendukung lawan politiknya waktu pemilihan dulu.” Pak Maman mulai berbicara. Ia berusaha berkata lembut kepada anaknya. Ratih anak tunggal Pak Maman. Pak Maman sangat memanjakan Ratih. Pak Maman pernah berjanji akan membiayai pendidikan Ratih hingga menjadi seorang dokter. Begitulah cita-cita Pak Maman.

“ Sebaiknya Bapak coba memohon berkah ke makam keramat, sudah banyak pejabat yang meminta berkah di sana, mereka langsung murah rejeki” kata istri Pak Maman.

“ Bagaimana mungkin orang yang sudah mati diminta rejeki, pada orang hidup saja susah meminta sesuatu tanpa imbalan, apalagi pada orang mati”, kata Ratih.

“ Betul apa yang dikatakan Ratih, Ibu juga harus tahu kalau perbuatan syirik, dilarang agama”, kata Pak Maman menimpali.

Pak Maman kemudian berdiri. Ia lalu ke belakang, mengambil air wudhu, berharap amarahnya reda tersiram air wudhu. Ia menyuruh istrinya menyiapkan makanan, mungkin juga ia marah karena perutnya lapar. Sementara menunggu makanan, Pak Maman tertidur, rupanya karena terlalu lelah. Dalam sekejap, ia bermimpi. Pak Maman bermimpi dirinya menjadi seorang Bupati. Pak Maman dihormati semua orang. Ia memecat orang-orang yang tidak mendukungnya, ia angkat kerabat, teman, keluarga dekatnya menjadi pejabat menduduki jabatan penting. Tapi, dalam mimpinya itu Pak Maman di protes warga. Masyarakat tidak terima Pak Maman berbuat nepotisme. Kantornya dilempari batu dan telur busuk. Dan pada akhirnya Pak Maman ditangkap karena terlibat korupsi berjamaah.

Pak Maman dibangunkan oleh Ratih karena makanan sudah siap. Pak Maman tak lahap makan siangnya karena masih terbayang oleh mimpinya tadi. “ Kenapa Bapak tidak mencoba mendekati Pak Bupati, cobalah menjadi penjilat, barangkali Bapak akan diberi jabatan lagi,” Ratih berkata kepada Bapaknya. Istri Pak Maman mengangguk seakan setuju dengan perkataan anaknya.

“Sudahlah, tadi Bapak marah dan kecewa, tapi sekarang Bapak sudah ikhlas. Jabatan adalah titipan, tidak selamanya kita berada diatas” kata Pak Maman dengan wajah yang tenang.

“ Seharusnya yang diangkat jadi pejabat bukanlah karena keluarga dekat. Jabatan harus diserahkan kepada ahlinya”, Ratih berkata kecut. Pak Maman hanya tersenyum. Pak Maman mengerti istri dan anaknya sangat kecewa dirinya dipecat. Apalagi ia dipecat dengan alasan yang sangat politis. Padahal selama ini Pak Maman adalah seorang Kepala Sekolah yang baik. Sekolah yang dipimpinnya maju dan siswanya banyak yang berprestasi.

“Tapi sekarang Bapak sudah tidak punya pekerjaan, kita kan butuh makan.” Istri Pak Maman berkata dengan wajah cemberut.

“ Sekarang Bapak mau kerja apa?” Ratih bertanya.

“ Nanti Bapak coba jadi tukang cukur, itu salah satu kepandaian Bapak waktu masih muda. Bapak juga masih punya tabungan di bank, cukuplah untuk membuka tempat cukur”.

Ratih tak ingin bertanya lagi. Setelah makan, ia langsung masuk ke kamarnya. Dalam hatinya, ia kecewa dengan politik. Bapaknya sudah sepuluh tahun menjadi seorang Kepala Sekolah, dan akhirnya harus dipecat karena alasan politik. Pupus sudah harapannya untuk melanjutkan kuliah di kota besar, rasanya tak mungkin lagi ia menjadi dokter. Selama ini, hanya Bapaknya seorang yang mencari uang. Bapaknya tulang punggung keluarga. Rasanya ia pun akan malu punya Bapak seorang tukang cukur.

30MODERNLOVE-popup

Kau Teman yang Baik

Aku adalah seorang gadis yang selalu menampilkan senyum tersimpul. Bisa dibilang ceria.  Jarang sekali aku menangis, mungkin hanya pada saat mengiris bawang. Aku juga seorang lulusan perguruan tinggi ternama dan aku orang yang selalu punya rencana. Sepanjang hidupku aku telah diperintah, disiplin sangat baik oleh keluarga, ayah dan kakak . Orang orang disekitarku senang atas sikapku yang ramah. Namun tampaknya aku tak punya banyak teman. Hanya ada satu teman dekat.

Teman dekat saya, namanya Tiara, kini telah bekerja di luar kota. Kami terpisah, tapi aku selalu menjaga komunikasi. Seringku mengiriminya surat, menelponnya saat menjelang tidur, atau sms agar dia tak lupa makan. Aku tak ingin pertemananku dengannya berhenti di tengah jalan.

Dia pernah bekerja di sebuah rumah makan disana, hanya sebulan lalu kemudian aku dengar dia telah sukses menjadi seorang pengusaha muda. Dan kudengar pula kabar ia akan datang ke kota ini lagi. 13MODERNLOVE-popup

Rasanya aku tak sabar. Esok pukul sembilan pagi Tiara akan tiba di bandara. Aku telah siap Kusiapkan penyambutan seperlunya. Aku bawakan makanan kesukaannya.  Baju pun kusetrika.  Besok perempuan itu, sahabat dekatku, pasti  heran tak menyangka melihatku berpakaian rapih, apa lagi sudah lama kita tak jumpa. Selepas bertemu nanti, rencananya aku tak akan langsung mengantarkannya ke rumah. Akan kubawa ia ke taman kota, tempat favorit kita berdua untuk ngobrol.

“Kau, kenapa kau terlihat ceria sekali?” tanyanya padaku saat duduk di bangku taman.

“Memang dari dulu aku begini kan”

Tak banyak obrolan yang keluar. Aku terlalu gugup untuk berkata dan bertanya . Aku merasa tak dekat lagi dengan dia, terasa ada sekat-sekat.

“Jadi kau sekarang seorang pengusaha, kau telah kaya?” tanyaku memberanikan diri.

Dan ia tak merespon, apa lagi tersipu, menatapku pun enggan. Aku rasa pertanyaanku salah.

” Mengapa pertanyaannya seperti itu? tanyanya padaku.

” Aku mendengar kau telah suskes dan jadi pengusaha muda yang kaya”

” Biasa saja, kamu kira aku telah jadi orang yang sombong karena itu? Ah, perkiraanmu itu salah”

” Lalu mengapa kamu datang kembali dan menemuiku?”

Dia mengatakan kalau dia tak ingin lagi diganggu olehku. Dia terganggu oleh suratku, sms, dan telponku. Dia tak bisa fokus dengan pekerjaannya. Dia pun menceritakan telah menemukan teman baru yang lebih baik dariku. Jika memang begitu inginnya, aku tak kecewa. Tapi aku masih bertanya-tanya mengapa ia berubah seperti ini. Mungkinkah aku memang mengganggunya atau itu cuma sekedar alasan? Entahlah. Dan memang benar apa yang sebagian orang lain katakan bahwa pertemanan akan memudar karena uang dan kesibukan. Kini, aku rela, aku tetap menganggapnya sebagai sahabat. Dan sebagai sahabat yang baik aku terima keputusannya.

Besoknya, aku tetap mengantarnya ke bandara. Aku memeluknya erat. Aku melepasnya dengan lambaian tangan. Lalu aku melihat tarikan senyum kecil di sisi mulutnya .

” Kau teman yang baik , ” katanya

Piano

Di tengah jalan, di tengah keramaian. Ketika detikGambar perlahan kurasa berubah menjadi menit, dan menit menjelma menjadi jam.  Semua warna yang kulihat begitu membosankan tanpamu, tanpa tawamu yang juga terkadang mengundang tawaku. Apakah aku sudah kehilangan pikiranku? Akal sehatku telah mati?.

Ketika semuanya sudah mereda, apakah salah aku meminta cinta?. Tak kuasa waktu itu aku menahan tanganmu. Membiarkanmu pergi diiringi oleh alunan musik sedih. Telingaku mendengarkannya, tapi telingamu tidak. Kau pergi.

Katamu waktu itu, ” Kau akan baik baik saja tanpaku”. Aku hanya diam. Dalam hatiku remuk redam. ” Kau akan temukan orang lain yang membuatmu bahagia”, katamu lagi waktu itu. Sekali lagi aku diam.

Jika saja mulutku tak dikalahkan oleh tangisku, maka akan aku katakan, ” aku sangat mencintaimu”. Tapi aku tak bisa. Kau adalah lelaki yang membuat awal yang bahagia. Walau pun di akhir kau menggores luka, tapi selamanya aku tetap cinta.

Bodoh aku dahulu menganggap kita berjodoh. Ketika kau memberikan potret seorang wanita. Dia manis, katamu. ” Inilah wanita pilihan ibuku, yang akan menjadi istriku”, katamu dengan lembut dihiasi senyum tipis. Aku ragu untuk memujinya, aku begitu cemburu. Mataku hanya melihat gelap. Cinta memang membuatku buta. Aku ingin marah. Tapi aku tak kuasa. Melepasmu pergi adalah satu satunya cara aku bisa membuatmu bahagia.

Sadar aku akan hidup ini. Seperti bilah bilah piano, kau dan aku telah berjalan dalam alunan musik kehidupan.Ada hitam ada putih, suka dan duka seiring waktu. Dan mungkin kita telah menulis sebuah lagu, sebuah lagu yang sedih berirama tragis.

” Tak bisakah kau memilihku?” kataku padamu saat kita berdua di sebuah kamar. ” Aku telah berikan semuanya”. Tapi sebelum kau menjawabnya, raut wajahmu sudah berkata tak bisa. Rasanya cukup sudah aku memaksa.

Aku ingat, saat kau di depan gerbong kereta, kau dekatkan bibirmu di telingaku. ” Maafkan aku”. Seketika tubuhku bergetar. Aku tak ingin lagi menangis. Pergilah, maafku sudah ku beri. Biarkan anak dalam rahimku ini melihat dunia, tanpa seorang ayah.