Tak Tersentuh

Dulu

Genggam tanganmu masih kurasa, dan dan detak jantungmu

Kini

Kau jauh tak tersentuh

Utuhku berkeping menjadi debu

Karena

Telah hilang wujudmu di mataku1252715002mh84sn1

Dan tidak seperti waktu itu

Kita berada di udara yang sama

Di bawah langit yang sama

Dan di antara hujan

Hanya saja, kali ini saya tidak tahu harus memandangmu dari arah mana …

Cerpen: Si Gemuk dan Si Kurus

Saya baru saja membaca cerpen karya Anton Chekov  yang berjudul Si Gemuk dan Si Kurus. Anton Chekov adalah seorang penulis asal Rusia yang dikenal sebagai Bapak Cerita Pendek Modern karena teknik penulisannya yang singkat, lugas dan klinis. Berikut ini saya sajikan cerpennya … ***

Dua orang sahabat lama – yang satu gemuk dan yang satunya lagi kurus – tak sengaja berpapasan di stasiun kereta Nikolaevsky*. Pria berbadan gemuk itu baru saja selesai makan malam di sana – bibirnya tampak berminyak di bawah sorotan lampu neon dan merah mengkilap seperti buah ceri. Tubuhnya menguarkan harum sherry (anggur untuk memasak) dan adonan kue.

Sementara itu, pria yang berbadan kurus baru saja keluar dari gerbong kereta dan tampak sibuk menenteng beberapa koper, buntelan dan kotak bingkisan. Tubuhnya menguarkan bau daging ham dan bubuk kopi. Di belakangnya ada seorang wanita yang juga kurus dan memiliki dagu panjang. Ini adalah istrinya. Selain itu, ada juga seorang bocah jangkung dengan kelopak mata yang agak turun. Ini adalah putranya.

“Porfiry,” teriak Si Gemuk saat melihat pria kurus itu. “Benarkah itu dirimu? Oh, sudah lama sekali aku tak melihatmu!”

“Ya ampun!” teriak Si Kurus dengan takjub. “Misha! Teman kecilku! Senang sekali berjumpa denganmu di sini!”

Kedua sahabat lama itu kemudian saling mencium pipi satu sama lain dengan mata berkaca-kaca. Keduanya sama-sama tak menyangka akan berjumpa lagi.

“Sahabatku!” seru Si Kurus setelah mencium pipi sahabat lamanya. “Sungguh sulit dipercaya! Ini kejutan yang luar biasa! Coba lihat aku! Bukankah aku masih setampan dulu? Sehebat dan seapik dulu? Wah, wah! Nah, apa kabarmu? Sudah kaya? Menikah? Aku sendiri sudah menikah, seperti yang kau lihat …. Ini istriku, Luise, nama gadisnya adalah Vantsenbach … dan agamanya dulu adalah Kristen Lutheran… Ini putraku, Nathaniel, sekarang duduk di kelas tiga. Ini teman Ayah sewaktu kecil, Nat. Kami dulu selalu bermain bersama di sekolah!”

Nathaniel berpikir sesaat, lalu melepas topinya.

“Ya, kami dulu satu sekolah!” lanjut Si Kurus. “Kau ingat dulu kami suka menggoda dan mengataimu ‘Herostratos’** gara-gara kau pernah membuat lubang di buku sekolah dengan bara rokok? Sementara aku diberi nama panggilan ‘Ephialtes’*** karena aku sering menguping? Ho-ho! … Hebat sekali kita dulu! Jangan malu-malu, Nat! Sini, lebih dekat… Nah, ini istriku, nama gadisnya adalah Vantsenbach… dan agamanya dulu adalah Kristen Lutheran****.”

Nathaniel berpikir lagi sesaat dan bersembunyi di balik tubuh ayahnya.

“Apa kabarmu sekarang?” tanya Si Gemuk, menatap penuh antusiasme ke arah sahabatnya. “Apakah kau sudah jadi anggota militer? Tingkat apa?”

“Benar sekali, kawan! Sudah dua tahun ini aku menjabat sebagai Kapten – dan aku juga sudah mendapatkan lencanaku. Gajinya kecil, tapi itu tidak penting! Istriku bekerja sebagai guru musik, dan sesekali aku masih sering memahat kotak rokok dari kayu untuk dijual. Ini produk berkelas! Aku menjualnya seharga satu rouble per kotak; dan kalau kau mau membeli sepuluh kotak atau lebih, aku akan memberikan diskon murah. Sejauh ini, keadaan kami lumayan sekali. Kau tahu, pertamanya aku ditempatkan di salah satu departemen Kementrian, tapi sekarang aku sudah dipindah-tugaskan ke kantor militer di kota ini … Jadi aku akan mulai bekerja di sini. Bagaimana denganmu? Kuperkirakan sekarang kau sudah jadi Mayor, ya?”

“Bukan, sahabatku,” ujar Si Gemuk. “Sekarang aku sudah naik jabatan jadi Letnan Jendral… aku punya dua bintang.”

Si Kurus mendadak pucat dan seluruh tubuhnya terasa kaku; namun dengan cepat ekspresinya berubah, menunjukkan seringai lebar dan dahi berkerut. Mata dan wajahnya bersinar. Namun tubuhnya gemetar, mengerut, membungkuk rendah, dan membuatnya terlihat jauh lebih kurus. Sementara semua bawaannya – koper, buntelan dan kotak bingkisan – seakan ikut menciut. Dagu istrinya yang panjang terlihat semakin panjang; dan dalam waktu singkat Nathaniel menegakkan tubuhnya, serta merapikan pakaiannya.

“Yang Mulia, saya… Ini adalah sebuah kehormatan! Betapa bangganya saya mendapati bahwa teman masa kecil saya kini telah menjadi orang terhormat!” – Si Kurus menyeringai lebar.

“Sudahlah, Porfiry!” ujar Si Gemuk dengan santai. “Kenapa tiba-tiba nadamu jadi aneh begitu? Kita sudah saling kenal sejak kecil. Jabatan kita tak ada urusannya dengan persahabatan kita selama ini!”

“Tapi, Pak – bagaimana mungkin…” Si Kurus terkekeh dengan gugup, tubuhnya tampak semakin mengerut. “Perhatian Yang Mulia terhadap kami seperti berkah dari surga. Yang Mulia, ini anak saya, Nathaniel. Dan ini istri saya, Luise, yang beragama Kristen Lutheran.”

Si Gemuk baru saja hendak mengajukan keberatannya terhadap perlakuan Si Kurus terhadapnya yang mendadak berubah; namun wajah sahabatnya tampak begitu bangga dengan rasa hormat yang luar biasa hingga membuat si pria gemuk muak. Akhirnya, dia mengambil langkah mundur, dan mengulurkan tangan ke arah si pria kurus.

Si Kurus menjabat tangan sahabatnya dengan erat, lalu membungkuk dalam-dalam, sambil tertawa konyol. Istrinya juga tampak bangga. Sementara Nathaniel mengetuk-ngetukkan kakinya di atas lantai dan menjatuhkan topinya. Itu adalah kejutan yang luar biasa untuk ketiganya.

***

Kesan saya setelah membaca cerpen diatas saya menangkap ada sedikit kesan iri dari si kurus. Mungkin selama ini dia selalu merasa paling beruntung dan sukses, jadi begitu melihat sahabatnya yang sukses ia jadi, “kok bisa sih dia lebih sukses dariku?”

Saya pikir, bagi si kurus, persahabatan adalah sesuatu yang rapuh. Bisa dilihat, karena temannya berubah pangkat, pangkatnya lebih tinggi, dia langsung berubah sikap. Berarti dia memandang orang berbeda-beda.

Sementara itu, sepertinya si gemuk adalah seseorang yang tulus dan bijak, dia tidak suka diperlakukan “lain”. dia ingin semua orang diperlakukan sederajat, tidak peduli dengan status, pangkat, harta atau apapun yang membuat orang sombong.

Bagi saya, mungkin itulah mengapa nasib si kurus dan si gemuk berbeda. Karena masih menganggap jabatan, status dan uang sebagai sesuatu yang penting. Semua hal duniawi yang saya sebutkan tadi tidak menjerat si gemuk, sehingga dia jauh lebih sukses. Mungkin itu pesan umum bagi kita, pesan moral dalam cerpen ini, kalau mau sukses jangan seperti si kurus, jadilah seperti si gemuk.

Senja September

Sebuah senja di September.

September yang  belum berakhir.

Sebuah kisah  tersimpan di jejak langkah yang masih basah.

Akankah hujan menghapusnya?

Dan ku ingat wajah wajah yang ramah.

Di baliknya ada duka.

Tak tahu aku apa itu.

Tak perlu juga aku tahu.

September segera berlalu. Dan aku masih tetap merindu.

Akankah kita kembali bertemu?

578872_509597745733617_1369659995_n

“Dunia di Dalam Mata” ~ Sebuah Kumpulan Cerpen dan Fiksimini

katabergerak

Cover CerpenFM

“Dunia di Dalam Mata”

Ia selalu suka duduk di hadapan cermin. Cermin besar yang sengaja dibelikan ibunya semasa kecil. Di dalam cermin itu, ia seolah bisa melihat dunia. Bukan dunia seperti tempat yang dipijaknya kini, melainkan sebuah tempat yang berbeda. Dan, lama-kelamaan ia tahu, dunia itu sesungguhnya berasal dari matanya yang berwarna terang dan sedikit kelabu.

Selain cerita pendek berjudul Dunia di Dalam Mata, di dalam buku ini ada 22 judul cerita pendek lainnya dari 18 penulis terseleksi dan 4 moderator @fiksimini: Agus Noor, Clara Ng, Eka Kurniawan, dan M. Aan Mansyur. Mengisahkan beragam tema dengan gaya penulisan yang berbeda.

Judul: Dunia di Dalam Mata
Penulis: Agus Noor,Andi Gunawan, Andi WIrambara, Anggun Prameswari, Adellia Rosa, Chi Eru, Clara Ng, Dedy Tri Riyadi, Dian Meilinda, Disa Tannos, Eka Kurniawan, Emil Amir, Erka Matari, Faisal Oddang, Fitrawan Umar, Idawati Zhang, Liza Samakoen, M. Aan Mansyur, Nadia Sarah Adzani, Nastiti Denny, Raditya…

Lihat pos aslinya 36 kata lagi

Seramai Pasar Malam

Saya diajak teman datang ke pasar malam. Saya melihat banyak orang berjualan dan hiburan-hiburan. Kata teman, datang ke pasar malam untuk jalan jalan atau sekedar menenangkan pikiran. Walaupun saya tidak suka keramaian, yah demi teman. Suasana pasar malam  sangat ramai, kecuali jika turun hujan. Saya pribadi, tidak suka mainkan wahana pasarmalam, saya hanya sekedar jalan jalan. Melihat orang orang berdesakan, anak kecil keriangan, dan muda mudi saling bergandengan tangan.

Manusia memang terkadang butuh sebuah hiburan. Pasar malam adalah hiburan rakyat, yang mungkin beberapa tahun ke depan akan hilang ditelan zaman.

Hidup  menyerupai pasarmalam. Orang datang untuk bersenang-senang, untuk dihibur oleh sesuatu yang mereka tahu palsu, klise, dan tentu saja memiliki harapan pulang ke rumah dengan senyum lebar, ditambah perut kenyang.  Seperti firman Tuhan di dalam Al-Quran, seperti pasar malam, “Kehidupan di dunia ini hanyalah senda-gurau dan main-main belaka?”

Sandal Jepit

Saya suka sekali pakai sandal jepit. Kemarin sendal jepit saya putus, sedih sekali. Akhirnya saya beli lagi. Masih berbaik sangka, saya beli merk yang sama, Swallow, tapi beda jenis dan beda warna. Kenapa saya suka sandal jepit? Alasannya karena praktis, ringan, dan tentunya lebih murah. Tapi, sandal jepit juga memberi saya resiko. Jika tersandung, jempol atau jari kaki akan berhadapan langsung dengan batu atau trotoar jalan. Itu yang paling sakit. Yang sederhana kaki mudah kotor, jadi harus rajin membersihkan daki dari kulit samping kaki, serta sela-sela jari.

Sayang, sandal jepit terkadang diacuhkan, ada diskriminasi. Mahasiswa yang mengenakan sandal jepit dilarang masuk ruang kuliah. Kebanyakan perkantoran swasta dan hampir pasti perkantoran pemerintah, melarang masuk orang yang mengenakan sandal jepit.

Saya pernah bersama teman saya, pergi ke kantor pemerintah. Teman saya ditegur oleh satpam gara-gara dia pakai sandal jepit ke kantor Bupati.
Satpam itu bilang “Kamu mahasiswa?”
Teman saya mengiyakan.
Satpam itu bertanya “Tahu aturannya kalau masuk kantor?”
Dia mengangguk.
“Terus kenapa kamu langgar? Kan sudah ada ketentuan, kalau mau masuk kantor apalagi mau ketemu pak Bupati, kan tidak sopan kalau pakai sandal jepit de”
Saya diam. Teman saya lalu bicara.
“Pak, maaf, kenapa kalau saya pakai sandal jepit. Saya protes! menghadap Tuhan saja kita harus lepas sandal bahkan sepatu, masa cuma menghadap orang penting yang hanya seorang manusia saja harus pakai sepatu?”
“Mas, ini kan kantor bukan masjid.”

Yah begitulah, sebuah aturan buatan manusia. Entah darimana asal peraturan itu dan siapa yang bikin.

Sandal jepit, bagaimanapun, merupakan penemuan manusia yang sangat hebat. Manusia tahu, di muka bumi ini, begitu banyak hal berbahaya sehingga perlu melindungi telapak kakinya sendiri. Sebuah penemuan yang cerdas, dan jangan dianggap sepele. I love Sandal Jepit.

Pulang ke Rumah

Terkadang saya diejek, saya dikatakan “anak mami”. Memang terdengar negatif, tapi julukan ini ada benarnya. “Rumahku surgaku” ungkapan itu pantas ditujukan untuk seorang anak mami seperti saya. Dan anak yang tak pernah meninggalkan rumah, ibarat bayi yang terlena untuk tetap terus berada dalam buaian rahim ibunya. Anak mami.

Memang, kalau saya perhatikan, seharusnya seorang anak laki-laki harus keluar atau bahkan pergi dari rumah dalam waktu yang lama. Bahkan dalam tradisi Minang,  mewajibkan lelaki untuk keluar rumah bahkan di usia yang sangat muda. Merantau.

Bagi saya tidak, saya selalu dilanda rindu untuk pulang ke rumah. Home sick nama kerennya. Walau bagaimana pun suasana rumah, walau banyak masalah, atau seperti kapal yang pecah, saya selalu mau pulang ke rumah.

 

Gaptek

Ada orang yang selalu datang di warnet ini. Menjelang petang hingga larut malam , ia duduk dipojok warnet. Gerak geriknya mecurigakan. Entah apa yang ia lakukan, mungkin membuka situs porno. Wajahnya keringatan.

“Mas, maaf, warnetnya sudah mau tutup”

“Oh, iya, sebentar lagi yah”.

“Ok Mas, lima menit lagi”.

Lima menit sudah lewat. Dia masih belum berhanti juga. Bosan saya menunggu, apalagi perut saya sudah lapar. Ingin cepat pulang ke rumah dan istirahat.

“Mas, saya sudah mau pulang, sudah tengah malam”.

Dia diam saja. Saya datang menghampirinya, penasaran juga saya mau liat dia buka situs apa. Setelah saya mendekat, saya kaget. Ternyata dia tidak tau cara browsing. Tampilan monitornya hanya desktop.

“Sebenarnya saya tidak tau caranya browsing internet”.

“Terus kenapa mas tidak bertanya, saya kan operatornya”.

“Saya malu mas, saya tidak mau dibilang gaptek”

“Hahaha”

Malam itu, saya sadar, ternyata masih ada orang di abad ini yang gaptek.

Makan Tengah Malam

Tuhan memberikan banyak sekali hujan di bulan ini. Bulan September. September yang katanya ceria, tapi tidak bagi saya. Mungkin September saya tidak seceria September mereka. September ini adalah waktu-waktu dimana fikiran saya seringkali berkecamuk. Bercampur aduk. Artinya, seringkali dalam waktu yang sama saya memikirkan banyak hal yang acak. Harus mengerjakan dan memulai apa, saya sering bingung.

Rumah saya penuh debu, ibu seminggu yang lalu pergi ke kampung. Rumah tak terurus.

Ketika saya menulis ini, waktu menunjukkan jam 02.22. Ayo, mari makan tengah malam !!!