Mesjid, teduhnya …

Setelah pulang dari kampus, petang telah menjelang dan senja perlahan menghilang.  Adzan Magrib pun kini berkumandang . Aku merasa terpanggil. Segera saja ku menuju mesjid terdekat, bergegas untuk menunaikan sholat . Mesjid itu bernama Mesjid Raya At Taqwa. Mesjid itu adalah mesjid yang cukup tua yang ada di kota ini, kota tempatku di besarkan.Aku tumbuh bersama mesjid itu. Kulihat beberapa kali mesjid itu mengalami renovasi. Dari dindingnya yang retak karena gempa bumi dan kubahnya yang  catnya diganti. Seusai sholat tak segera ku beranjak untuk pulang. Ku merasa teduh dalam mesjid, kunikmati ketenangan dalamnya . Bagiku, sebuah masjid bukan sekadar tempat beribadah, namun sebuah tempat bersenyap diri dalam mendaki mendekati Ilahi. Saat sholat di mesjid ini, saya belajar mempersenyapkan diri seperti orang orang yang sholat disitu. Zikirku berbisik lirih.

Sejenak zikirku terhenti  karena suara tangisan anak kecil pada shaf wanita. Anak kecil usia 2 tahun menangis meraung raung, sontak mengganggu ketenangan jamaah lain. Sebagian orang bermuka masam dan sebagian lainnya tetap khusu beribadah. Aku teringat pada saat Ramadhan, salah seorang pengurus mesjid ini berusaha melarang orangtua melarang anaknya datang ke mesjid, bila hanya sekedar mengganggu jamaah lain.  Yah orang itu beranggapan, mengajak anak ke mesjid hanya akan membuat kacau di masjid. Dengan kekacauan yang ditimbulkan anak, akan menjadikan tidak khusyuknya dalam beribadah. Saya tidak setuju. Bagaimanapun, anak memiliki hak untuk dekat dan mengenal masjid. Menanamkan pada jiwa anak cinta kepada masjid sebagai tempat ibadah yang mulia harus dilakukan seawal mungkin.

Mesjid ini telah menjadi tempat bagiku untuk sekedar berteduh.  Saat masalah deras mengguyur maka mesjid ini menjadi peneduh. Ketika jiwa memanas ada tempat melampiaskan perasaaan untuk mendinginkan emosi dan menyegarkan jiwa. Bila di rumah ada masalah keluarga, dan aku telah muak dengan semua, maka mesjid ini tempatku menitip sejenak gundah itu. Dengan segala ibadah, sholat, atau hanya mendengarkan lantunan orang yang mengaji bisa meredam emosi dan membuat api amarah menjadi padam.

Isya telah tiba. Ku beranikan diri meminta izin untuk mengumandangkan adzan. Walau suaraku tak seindah Bilal, tapi aku ingin di hari kiamat nanti leherku menjadi panjang. Bukan seperti jerapah, tapi menurut ulama, maksud ‘panjang leher’ ini adalah orang yang paling banyak pahalanya, paling banyak mengharapkan ampunan dari Allah, paling bagus balasan amal perbuatannya, dan orang yang paling dekat dengan Allah. Berjamaah sholat Isya dengan para orang yang usianya telah tua. Memang, jarang sekali terlihat ada anak muda. Biasanya mereka lebih sering ke tempat lain daripada ke mesjid. Isya pun telah usai. Kulihat mesjid perlahan menjadi sepi. Para jamaah pamit diri setelah mengerjakan rawatib. Aku nampak sangat letih dan baringkan diri, merasakan sejuknya suasanan mesjid ini. Aku tidur. Dan akhirnya waktu berlalu, dan penjaga mesjid membangunkanku pada shalat Subuh.

Sampingan

Kembali Mimpi

Langit masih biru, aku melihatnya. Dihiasi putihnya awan awan nan lembut. Tuhan telah mengarak awan dan mengumpulkannya, bergumpalan, dan mungkin nanti akan ada air menetes dari celahnya. Tapi semoga saja tidak hujan. Aku berharap tak turun hujan hari ini. Aku terus berjalan. Ku dapati taman di pinggiran jalan. Berbagai bunga terlihat mekar, semerbak wangi. Teringat aku tentangmu.

Andai dulu kita tak bertemu, mungkin aku tak tersiksa rindu. Tatapmu masih kulihat di mataku. Kata manismu masih kukecap. Ah, semuanya telah berlalu. Kau sudah tak nyata lagi. Kau kini lamunan.

Aku masih terus berjalan. Terdengar sayup sapa orang memanggilku.

” Assalamu alaikum !”

Suara yang tak kukenal.

“Wa alaikum salam” Jawabku.

Aku menoleh. Terlihat olehku sosok wanita di depanku. Tersimpul senyum manis di wajahnya. Senyum yang begitu indah, bagai pelangi setelah rintik hujan.

Aku lalu terdiam. Aku merasa tanganku telah basah, lembab oleh keringat. Angin datang dari seberang. Buat apa menghadang angin. Padahal, hembusnya yang membawa aroma tanah basah terasa begitu menusuk tulang.

“Kau masih mengingatku?”

Aku tetap diam.

“Kau telah lupa padaku?”

“Siapa kau?” Aku balik bertanya.

Ia tak berkata sepatah kata. Raut wajahnya berubah. Senyumnya tak lagi ada. Ia nampak kecewa.

“Ternyata kau sudah lupa. Bukankah kau dulu pernah bersamaku, duduk berdua di kereta dalam perjalanan pulang ke kota. Kau tak ingat?”

Suara lembutnya mulai meninggi. Ku coba cerna kata dan tanyanya padaku. Tapi sungguh, aku tak kenal ia.

Aku tetap diam.

“Kenapa kau selalu ada ditempat ini? ” Tanyanya dan ia memasang senyumnya kembali.
“Aku selalu disini, aku tak punya teman, aku selalu sendiri”
“Tapi kau tidak terlihat seperti seseorang yang tidak punya teman,”
“Mungkin, tapi ada kalanya aku merasa duniaku berbeda dengan dunia mereka,”
“Apanya yang berbeda?” tanyanya menatap padaku.

Aku terbangun. Aku  pulang kembali ke alam sadar.

***

Aku masih terus bermimpi akhir akhir ini. Bertemu dengan sosok wanita yang tak kukenali. Aku lupa aku berada dimana, ia menyapaku ramah, kemudian aku pun terjaga. Pertemuan yang terlalu singkat untuk sekedar bertukar senyum. Bertatap muka. Rasanya tak ingin terbangun begitu cepat. Aku benci ini terlalu singkat.

Pertemuan dengannya berulang kali terulang dalam mimpiku. Di tempat yang berbeda, kita saling mengucap kata, sampai akhirnya aku dibangunkan oleh pagi yang dingin. Beberapa ingatan membuatku tidak sabar menemuimu lagi pada mimpi berikutnya.

Tapi mengapa aku tak mengenalnya. Mengapa dia bukan kau.  Dia memang bukan kau. Tapi kau sama dengan dia. Kau yang dulu menitip cinta sesaat padaku dan dia yang hadir sekejap di mimpiku.

Dalam hati, aku masih mencoba mencari. Aku merasa, aku dan kau, kita, pernah berada
pada titik yang sama di bawah garis lengkung? Dan kita menjadi akhir pada tanya, bingung, misteri, rahasia, dan semua hal.
Yang aku pun tak pernah tahu.Terkadang  kita pernah bercengkrama sampai pagi menjemputku kembali, ada beberapa butiran kecewa yang menyelinap diantara kepingan bahagia yang kupetik dari bunga tidurku malam ini.

Aku berharap mimpi membawanya kepadaku sebagai kau yang kuidamkan setiap hari, kau yang tak nyata, yang terlalu jauh untuk kutemui bila tidak dengan bermimpi.

Malam ini, dalam lelap aku ingin terlelap. Mata yang terpejam terbalut dalam malam yang kelam. Aku ingin menutup mata dan pergi entah kemana. Berjumpa lagi dengan dia yang tak kukenali. Dalam mimpi.

Bergaul Yuk …

Akhir akhir ini saya banyak bergaul dengan banyak orang, karena saya diminta untuk membantu salah satu pasangan calon Bupati. Saya memulai untuk berinteraksi dengan orang yang lebih dewasa dari saya. Bagi saya orang yang bertipe introvert, memang agak sulit untuk bergaul dengan orang banyak, terlebih lagi dengan orang yang baru saya kenal. Banyak hambatan yang saya rasakan dalam bergaul, diantaranya adalah timbul rasa arogansi dalam diri saya. Misalnya, saya menolak untuk bertanya lebih dulu kepada orang lain, atau menolak berjabat tangan lebih dulu. Ada rasa segan. Yah, saya memang orang yang pasif. Saya biasanya menunggu untuk ditanya lebih dulu, menunggu untuk disapa lebih dulu. Untuk mengatasi semua itu, saya berupaya untuk menebarkan salam atau dengan menunjukkan wajah yang berseri dengan senyum tersaji untuk orang lain.

Masih ada lagi hambatan yang kerap saya alami dalam bergaul, yaitu saya masih sering gugup dan merasa kurang percaya diri. Nah, dari sebuah buku yang saya baca saya menemukan beberapa tips agar saya dapat mengatasi kesulitan dalam bergaul. Yang pertama adalah berusaha untuk peduli. Kepedulian ini bentuknya macam macam, misalnya melibatkan diri dalam aktivitas orang lain, yah intinya peduli dengan orang yang ada disekitar kita. Cara kedua adalah menciptakan dialog dan suasana yang baik. Dialog atau percakapan yang hangat antara kita dengan orang lain. Ketiga adalah menghormati “privacy” orang lain. Ada beberapa hal dari orang lain yang ia suka kita ketahui, namun ada juga beberapa hal yang membuatnya tidak nyaman apabila kita ketahui. Setiap orang memiliki tiga wilayah kehidupan. Wilayah publik, yang kita ketahui secara umum tentang dia, wilayah khusus yang diketahui oleh orang orang terdekatnya, dan wilayah pribadi yang tidak ingin orang lain ketahui. Untuk kelancaran kita bergaul, diupayakan agar kita memfokuskan diri terhadap hal hal yang membuatnya nyaman untuk diketahui (wilayah publik) dan melupakan apa saja yang membuatnya merasa tidak nyaman (wilayah pribadi).

Selain itu, yang juga penting dalam pergaulan kita dengan orang lain adalah menjaga emosi dan mengaturnya. Begitu banyak konflik yang saya lihat antara orang yang satu dengan yang lain, padahal mereka berteman dan saling kenal, namun karena kurangnya kontrol emosi maka hubungan pertemanan mereka pun menjadi retak. Emosi memang harus dikendalikan, jangan mudah tersinggung dan jangan mudah membuat orang lain tersinggung. Jaga sikap dan tutur kita diwilayah kesopanan. Menghargai orang yang lebih tua dan tetap merendah hati.

 

Petasan, duarrr …

Petasan mudah sekali terdengar ledakannya di Bulan Ramadhan. Walau Pemerintah melarang penjualannya, tapi kerap saja kita dikagetkan dengan dentumannya. Saya berpikir, sebenarnya apa manfaat Petasan? Hanya untuk membuat orang kaget dan jantungan? Entahlah. Mungkin itu sudah menjadi hobi, merasa asyik mendengar ledakan petasan.

Namun, dibalik segala gerutu saya yang kaget karena petasan, ada satu makna yang saya tangkap dari petasan. Sebuah makna filosofis. Petasan itu tidak langsung meledak ketika sumbunya dibakar. Ditunggu beberapa saat dan BOOM. Meledak dan bikin orang jadi kaget. Disinilah saya memahami kalau petasan tidak akan menyalakan dirinya sendiri. Harus ada yang memantik sumbunya, barulah ia meledak dengan “superkaget” nya.

Petasan butuh momentum. Begitu pun dengan saya. Terkadang saya butuh momentum agar saya bisa meledak. Meledak dalam artian saya menjadi orang yang baik. Menjadi pribadi yang berguna bagi orang lain. Jika petasan membuat orang kaget yang bisa dipandang sebagai hal negatif, maka saya meledak dalam hal positif. Mungkin bukan membuat orang kaget, tapi terkagum akan kebaikan saya, atas pribadi, prestasi, atau akhlak saya.

Sama halnya dengan petasan, saya pun butuh pemicu agar bisa meledak. Pemicu itu dalam artian pengaruh dari luar, bisa berupa motivasi, dorongan, tuntunan, atau pun lingkungan. Dan Ramadhan adalah momentum yang baik bagi saya untuk meledak karena dalam Ramadhan, segala pemicu yang baik hadir di sekitar saya, orang-orang yang saleh dan lingkungan yang mendukung. Semoga saya bisa meledak. Duarrrrrrrrrrrrrrr ….

Move On, Wake Up

Berubah adalah sebuah langkah. Melangkah menuju arah.

Berubah adalah nyali. Menuruni bukit atau mendaki.

Berubah adalah pilihan. Di tengah waktu yang berjalan.

Sedikit yang bernyali untuk melakukan perubahan. Terlalu takut untuk bertualang dan mengambil resiko. Menunggu asa yang mati di dalam. Lalu semakin lama semakin padam.

Semangat dan gejolak terus diredam. Hingga hidup perlahan memudar.

Rencana dan hasil kadang berbeda. Karena hidup adalah untuk dijalani. Bukan untuk diterka dan bermain aman. Berada dalam zona nyaman adalah berbahaya. Jangan sampai hidup ini didasari rasa takut hingga kita tak lagi memiliki nyali untuk mengembangkan diri.

Keputusan sulit akan selalu ada dan harus selalu diambil. Tak ada yang perlu ditakutkan karena resiko akan selalu ada bahkan dalam setiap keputusan yang matang. Besar kecilnya resiko adalah tolak ukur pertahanan mental masing masing.

Memiliki visi, itu yang paling penting. Pastikan hendak kemana dan mau apa. Berani memilih bukan tanpa rencana. Berani memilih adalah dengan memiliki bekal dan impian. Bukan sekedar tindak gegabah asal asalan.

Berlarilah setiap hari. Jalani yang kita cintai tanpa alasan manja yang bertele tele. Impian bisa diraih orang orang yang kuat dihajar masalah. Tidak ada jalan yang selalu indah. Badai ada dimana mana.

Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkan.move_on_logo_515pix1

 

RIP

Tersentak. Begitu mendadak. Saya mendengar kabar dia telah pergi. Tiada lagi dia di dunia ini. Seorang kawan yang telah banyak waktu kuhabiskan dengannya. Bersenda gurau, silang pendapat, atau sekedar tertawa lepas. Minggu lalu saya masih menatap wajahnya. Matanya berbinar-binar seolah memancarkan sinar. Senyumnya begitu sederhana, manis rasanya. Wajahnya tak akan pernah bisa kulupa.

Kematian memang bagaikan pintu. Semua orang pasti akan memasukinya. Cepat atau lambat, tua dan muda akan merasakan ajal datang menjemputnya. Kematian memisahkan anak dari orangtuanya, memisahkan kita dengan orang yang dikasihi. Berangkat dari semua itu saya sadar, bahwa semuanya punya titik akhir dimana semuanya akan berhenti. Segala kesenangan takkan kekal, begitu pun kesedihan. Pergi bersama angin yang berhembus. Cahaya pada akhirnya akan redup, meninggalkan gelap.

Selamat jalan kawan. Di peraduanmu, beristirahatlah dalam damai yang tak pernah kita dapatkan di tempat yang ramai. Karena kesepianmu adalah kesepian kita bersama.

Dan Hujan

Tak ada gerak aku terdiam

Dalam ruang kamar yang kelam

Dan kini hujan pun turun perlahan

Hingga tergenang dari berjuta butiran

Tetesan demi tetesan kesepian

Melanda hati yang galau sendirian

Hujan terkadang membuatku malas

Hanya membuatku tertidur pulas

Disaat hari hujan turun

Kadang  aku mengenang

Segala cerita yang lampau terbuang

Berharap hujan pun akan reda

Berganti cerah penuh kehangatan

Agar kembali semua keceriaan

Mungkin hujan tak ada salah

Mungkin hanya aku berkeluh kesah

Karena hujan …

 

Mendung dan awan masih berwarna keabu-abuan. Terlihat dari jendela kecil kamarku.  Mungkin hujan akan turun. Sesepi yang aku  rasa pagi ini. Masih sepagi ini dan aku belum beranjak dari kasur hangat tempatku berbaring. Di kamarku yang  sempit pengap dan gelap waktu terasa lamban berjalan. Semenit bagai sejam. Rasa malas untuk beraktivitas menghampiri. Seakan ingin tetap terlelap berlama-lama.

Pagi itu pun hujan berjatuhan dengan deras. Butir-butir air terhempas melayang-layang dan menghampar di jalanan. Aku masih saja meringkuk dalam selimut tebalku, tetap memandang hujan dari balik jendela.

Mungkin telah dua jam hujan membasahi, kini perlahan reda dan berhenti. Tanah masih basah menyebarkan aroma khas tercium olehku. Bangkit. Segera ku menuju teras rumah, melihat ke atas, ke langit.  Mendung yang masih menghiasi langit enggan untuk pergi dan tidak ingin membiarkan pelangi menampakkan keindahannya.

Dan hujan masih menyimpan kenangan, yang masih sulit untuk aku lupakan. Tentang semuanya. Kau dan aku. Kita.

 

Ramah dan Ramadhan

Segala syukur terucap, alhamdulillah atas nikmat dan kesempatan tahun ini saya masih diberikan kesempatan beribadah di Bulan Ramadhan. Saya masih diberikan waktu untuk menambah amalan sebagai bekal kelak di akhirat. Segala puji bagi Allah yang tidak hanya mengaruniakan keutamaan Bulan Ramadhan pada sianghari melalui ibadah puasa. Dia juga memancarkan Cahaya PetunjukNya pada malamhari bagi mereka yang beribadah shalat Tarawih, serta berjaga dan terjaga dalam Shalat Malam, baik dengan membaca Al Qur’an, atau sekedar bertafakkur dalam keheningan malam. Bulan ini bukan hanya bulan untuk menahan lapar, dahaga, amarah, dan hubungan suami istri pada sianghari, namun juga bulan untuk menahan makan, minum, ketamakan, dan tidur berlebihan pada malamhari. Inilah sebuah paradoks yang terjadi pada Bulan Ramadhan. Orang menahan nafsu pada sianghari, dengan ketatnya, namun ketika waktu berbuka tiba, malam tiba, mereka murka dan memuaskan nafsunya secara berlebih lebihan.

Saya berharap dengan segala keutamaan Ramadhan, saya menjadi pribadi yang ramah. Ramah dalam segala hal. Menjadi orang yang menyenangkan dan disenangi. Saya lebih menjadi sopan dan santun terhadap yang lebih tua. Saya harus menjadikan Ramadhan tahun ini sebagai momentum untuk saya, untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Dan saya pun harus memanfaatkan Ramadhan ini dengan sebaik mungkin. Karena tiada jaminan bagi saya untuk bisa dipertemukan kembali dengan Ramadhan Mubarak tahun depan.

Ketika Besok

Apa tujuan kita besok, atau minggu depan, atau bulan depan, atau bahkan tahun depan. Melihat segala yang ada di sekitar kita. Orang orang dengan tujuannya masing masing. Ada yang ingin menjadi orang yang bisa lebih sehat, ada yang mau menikah, ada yang mau liburan, dan banyak lagi rencana rencana. Hanya saja semua tujuan-tujuan itu dari mulai rentan waktu yang pendek hingga yang panjang, dari mulai besok sampai minggu depan, bahkan bulan, bahkan tahun dan bertahun-tahun lagi, semuanya saat ini hanya rencana, tidak ada pasti. Tidaklah pasti, kecuali Allah memberikan izin kepada diri kita, manusia, untuk mencapai tujuan tersebut, atau keinginan tersebut.

Yah, semuanya kembali pada izin Allah. Insya Allah, semoga Allah menghendaki. Seringkali kita lupa di dalam keseharian kita. Kita pikir yang pasti besok adalah tujuan-tujuan kita, liburan, menikah, cari kerja dan  sebagainya padahal itu semua tidaklah pasti, karena yang pasti kita sedang berjalan menuju Allah, melalui pintu kematian. Kematian adalah sesuatu yang pasti namun kita lupakan. Seolah-olah kematian akan datang ketika usia kita telah tua, ketika mata telah rabun, dan pikiran telah pikun. Usia muda banyak kita habiskan hura-hura dan foya-foya, merasa bahwa kita akan bernafas selamanya, terus ada dalam dunia ini.

Semoga segala rencana rencana dalam hidup saya, dalam hati ini, mengarah niatnya akan ridho Allah. Senantiasa Allah pastikan saya menjadi hambaNya yang beriman dan mati dalam Islam yang mulia ini. Amin.P1050139_compressed