Tentang Uang

Banyak orang bilang, uang adalah segala. Bisa membeli bahagia, tangis ditukar tawa. Adapula yang berkata, uang hanyalah luka. Mampu membuat perasaan hampa. Sebenarnya uang itu apa? Uang adalah tuan bagi mereka yang mengejar kenikmatan. Uang bisa berubah menjadi jebakan setan. Disetir kiri kekanan asal mendapatkan kepuasaan. Uang adalah tujuan bagi yang semata memburu pujian. Uang pun dambaan, memuluskan sejuta hambatan. Harapan bukan lagi angan bila ada uang ditangan. Seharusnya uang tidak menjauhkan kita dari Tuhan. Malik bin Dinar pernah berpesan :

Dinamakan dinar (uang) karena terdiri dari dua kata, diin (agama) dan naar (neraka). Barangsiapa yang mengambilnya dengan haq maka baginya agama, namun yang mengambilnya dengan cara yang haram, baginya neraka.

Berhati hatilah dengan uang …

Rindu dan Hujan

Ada yang ingin kubisikkan selembut angin yang membelai dahan. Tentang awan yang berarak perlahan berubah menjadi mendung mengandung hujan. Rintik pun turun berjatuhan bersama rindu yang tak berkesudahan.
Tiada yang basah laksana hatiku. Membuncah tumpah sudah segala rindu. Tiada yang tersisa setelah hujan selain rindu …

Tanya Mendatang

Menunggu waktu yang akan datang, terkadang banyak rintang menghadang. Rindu yang berserakan di halaman, serta resah yang membungkus senyuman. Apa hanya perlu diam menanti? Melihat waktu mengalir, menatap kebekuan mencair. Atau harus tetap melawan arus?

Lelah Menjadi Ibadah

Lebih baik lelah bekerja, daripada lelah mencari kerja …                 

Ungkapan itu layaknya penyemangat bagi mereka yang selalu berteman dengan keluh kesah, dengan segudang permasalahan ditempat kerjanya. Clash dengan teman sekantor, lembur yang tak usai, atau bahkan boss yang arogan adalah diantara penyebab tak nyamannya kita bekerja. Padahal jika kita lebih menyadari, lebih jauh memahami akan lebih bersyukurlah diri kita. Cobalah untuk menelisik sekitar kita. Pengangguran bertambah jumlahnya, lapangan kerja menipis, daya saing semakin tinggi, serta iklim ekonomi yang tak menentu. Lantas, masihkah kita mengeluh, mengapa kita tak bersyukur? Berlelah lelah semoga menjadi ibadah …

Sebuah Kesan Pertama

Pertanda dari suatu perjumpaan memberi kesan pertama. Mungkin sudah takdir bahwa hidup ini terus mengalir. Karena disetiap waktu-waktu yang berlalu, saya bertemu dengan wajah baru, pengalaman, pembelajaran, bahkan kesempatan. Pergi atau meninggalkan, menjadi tujuan atau kenangan, menentukan atau sekedar menetap pada angan-angan. Seperti hari-hari sebelumnya. Tidak pernah ada pertemuan tanpa sengaja, pun yang sengaja untuk tidak disengaja, atau tidak sengaja untuk mencoba sengaja. Semua telah digariskanNya.“Semoga Allah menghendaki” adalah kalimat yang senantiasa terucap untuk kelangsungan dari setiap perjumpaan yang diridhoi olehNya.

Gelisah

Dosa bertumpuk bagai cucian yang berminggu minggu menunggu untuk dicuci. Menyebarkan aroma apek menghinggapi hidung. Apakah baik untuk kita mendiamkan dan membiarkan saja? Tentulah tidak. Dosa layaknya seperti itu. Dosa kecil sedikit demi sedikit menggelapkan hati. Dari hati menyebar keluar dan merusak akhlak. Tercium busuklah diri kita.

Dosa itu menggelisahkan. Meninggalkan resah dan itulah fitrah manusia. Manusia gelisah ketika dosa itu singgah.

Iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik

Cucilah diri kita dari dosa dosa yang bertumpuk meninggalkan noda kegelapan. Bisa dengan apapun dengan perbuatan perbuatan baik. Maka beristigfarlah …

Lawwamah

Banyak waktuku hilang.

Kesempatan yang berulang datang menjadi terbuang.

Sadar kemudian buyar.

Hanya sesaat dan selalu terbolak balik.

Terbit dan tenggelam. Kadang gairah kadang goyah.

Jiwa ini masih Lawwamah. Jiwa yang cacat cela.

Jiwa ini berada dalam genggamanMu.

Terkadang terasa mati, namun tiba tiba terasa hidup kembali.

Maka jiwa ini mengucap doa : Ya Muqallibal qulub tsabbit qalbi ala taatika

Sampingan

Sendiri Dalam Keriuhan

Sesibuk rutinitas yang seperti tanpa batas. Segalanya nampak begitu tak jelas. Serasa tiada beda antara libur dan lembur.

Momen of Solitude. Begitulah kiranya yang pantas kita dapatkan kala diri ini tenggelam jauh melampaui batas setiap aktifitas, dalam putaran rutinitas. Saat saat untuk menyendiri. Bukan berarti kita orang yang dilanda kesepian. Tidak. Kita butuh saat untuk menyelami dan mengenali diri.
Waktu yang terbuang di meja kerja, waktu yang habis mencari materi, apakah semuanya memberi manfaat atau hanya tersia percuma? Kehidupan selalu penuh dengan riuh rendah aktifitas dan gegap gempita keriangan.
Teddy Prasetya dalam bukunya Nasihat diri mengatakan untuk menepi sejenak setiap kali diri ini mengalami kelelahan jiwa. Kita porsikan waktu menyendiri dalam keheningan, mengucap syukur atas segala nikmatNya.

Dalam hening malam misalnya, kita bisa merasai tenang dan teduhnya sepekat malam. Apalah lagi jika keheningan itu diawali ibadah Tahajjud.

Jika Hanya Cantik

Setiap pria, saya akan katakan sebagian besar mendamba sesosok wanita yang berparas cantik sebagai teman hidupnya. Sekarang sangat banyak bertaburan berhamburan wanita wanita nan jelita. Di dunia nyata, sosial media maya, dan di layar kaca. Kecantikan memang senjata yang sangat ampuh untuk menaklukan lawan jenis. Dan sepengetahuan saya bahwa laki-laki akan tertarik pada apa yang dia lihat pertama kali; wajah – dada – paha.

Ada hal yang semestinya disadari oleh para wanita, adalah jika perempuan (hanya) memikat laki-laki karena kecantikannya, maka jangan salahkan jika suatu ketika laki-lakinya akan tertarik pada perempuan yang lebih cantik. Bahkan ketika kalian sudah menikah. Ketika laki-laki kalian tertarik pada perempuan yang lebih cantik (karena kamu sudah tua dan jelek).

Laki-laki, sealim dan sesoleh apapun dia, dia tetap laki-laki dengan segala sifat dasarnya sebagai laki-laki. Jika laki-laki soleh sampai tergoda, bagaimana dengan laki-laki nakal? Saya tidak menghakimi dan menyalahkan kalau perempuanlah yang salah. Tidak. Mari sadari bersama, bahwa saya tidak sedang menyalahkan siapapun. Tidak juga menyalahkan keadaan. Bahwa yang perlu kita sama-sama bangun adalah kesadaran. Bahwa pola masyarakat saat ini tidak baik, nilai-nilai yang dianut tentang kecantikan perempuan telah membuat dampak yang  jauh lebih buruk.

Layaknya sebuah casing handphone, kecantikan bukan sekedar tampak luarnya saja. Masih ada yang lebih penting, masih ada softwarenya. Bagi yang dianugerahi fisik yang cantik, bersyukurlah dengan menjaganya (menutupnya) agar tidak sembarang laki-laki menyaksikannya. Bagi yang merasa tidak cantik, bersyukurlah karena Allah melindungimu dari tatapan laki-laki nakal, biarkan laki-laki yang baik memandang ke jauh ke dalam hatimu.

Melihat Laut

Tak semestinya aku meninggalkan kuliahku demi untuk pergi melihat laut. Padahal mata kuliah hari ini begitu penting untuk mendongkrak nilai-nilaiku yang anjlok semester lalu. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin ke laut. Hasratku menggebu untuk melihat ombak yang menggulung, berakhir menyapu tepian pantai. Seolah-olah segala gundah tertumpah dan tercurah ketika mata ini memandang biru laut yang indah. Namun, sekarang semua beda. Baru kali ini aku menikmati hembusan angin laut sendirian. Selama ini aku selalu berada disampingnya. Tepat disampingnya, merangkul tangannya, mencium aroma parfumnya yang seakan menari-nari diujung hidungku.
Aku terlalu setia kata temanku. “Pakai akal sehatmu dalam urusan cinta” begitu kata Fitri padaku. “Kesetiaanmu harus pada orang yang tepat” nasihatnya, tulus, bagai petuah bijak dari seorang guru pada muridnya. Sadarku, memang setiaku tak pernah berbalas. Aku benci menjadi setia. Begitupun halnya aku sudah muak dengan janji-janji manis, topeng kepura-puraan, atau ditinggalkan tanpa alasan.
“Ulva, aku akan selalu ada untukmu” kata Dani, kekasihku, sebulan yang lalu sebelum akhirnya dia melanggar sendiri ucapannya itu. Pada nyatanya dia pergi tanpa ucapan permisi, bahkan layak aku katakan dia hilang, bukan ditelan bumi tapi terbang bersama angin.
Fitri, sahabatku, kemarin menyerangku dengan pertanyaan tentang Dani. Secara bertubi-tubi ia ingin membuatku menceritakan perihal episode aku dan Dani sewaktu di pantai. Aku akhirnya menyerah saja, kuceritakan semuanya pada Fitri, bagaimana Dani memelukku dan berucap janji untuk memperistriku, berterima kasih karena aku telah mempercayainya menjadi yang pertama.
“Tapi dia pergi kan?” Fitri bertanya lagi.
Aku hanya mengerutkan dahi. Tersenyum tipis.
“Laki-laki memang seperti itu, dan kita pun terlalu mudah percaya. Apalagi jika kita telah dibuatkan suasana romantis, kita lupa. Kita lupa kalau akhirnya pasti berujung kebohongan”.
Aku hanya diam. Mencermati dalam hati kata-kata Fitri, sebenarnya kesalahan ada pada diriku. Diriku yang salah telah mengenal, bahkan mencintai orang yang salah.
“Kamu harus bisa melupakan dia”.
“Aku sudah melupakannya”.
“Lantas kenapa setiap hari kamu ke pantai, menyendiri disana seperti orang kesepian saja”.
Fitri menduga bahwa aku ke pantai untuk kembali mengenang segala tentang Dani. Padahal tidak sama sekali. Aku melihat laut hanya untuk berpikir. Berpikir kembali tentang cinta.

***
Dengan perasaan berkecamuk, aku mengangguk. Dani menarik nafas dalam-dalam, memaksa bibirnya yang menghitam karena rokok untuk tersenyum. Detik berlalu dan aku tak bereaksi.
“Mengapa kita bertemu lagi disini?” tanyaku padanya. Dani tetap tersenyum. Belum usai aku mengagumi indahnya matahari senja yang bersiap untuk tenggelam. Aku dibuat terhempas kaget dengan kehadirannya tiba-tiba dihadapanku.
“Ini tempat kita, kau sudah lupa? tanyanya.
“Kau pergi”.
“Tidak”.
Mataku memandang matanya, kemudian kubuang pada sebuah titik. Pantulan cahaya senja tak lagi berwarna emas bercampur jingga.
“Aku menguji setiamu”
“Untuk apa? Pergilah”.
“Kau sudah tak cinta?”
Pertanyaan itu tak mampu kujawab. Aku berada diantara yakin dan ragu jika tentang cintaku pada Dani. Mungkin bisa kujawab tidak, tapi apa gunanya jika airmataku tetap menetes mengenangmu saat larut malamku. Sebaiknya memang kau pergi saja. Tenggelam dalam dasar laut atau lebih baik surut.
“Ulva bangun”
Suara samar-samar ditelingaku. Mataku kubuka dan ternyata Fitri yang membangunkanku. Tak kusangka aku tertidur di pantai, dibawai nyiur kelapa, dibelai angin sepoi. Dan aku bermimpi tentang Dani.

Akhirnya aku pulang. Dalam perjalanan menuju rumah, aku ditemani hujan. Ingin rasanya aku kembali ke laut. Berenang. Tapi sekarang aku terlampau letih, mataku sudah layu, kelopak mataku menjadi sangat berat. Aku berencana untuk langsung melempar diriku menuju alam mimpi sesampainya di rumah. Semoga bukan mimpi tentang Dani. Semoga aku bermimpi tentang laut.

“Apa jadinya laut tanpa ombak? Semuanya datar tak beriak.  Laut  tanpa ombak, tanpa nyiur, dan tanpa senja seperti musik tanpa intro. Ada nada yang hilang. Seperti mendengarkan sebuah alunan lagu yang tak utuh, betapa tidak nyamannya keadaan itu. Begitupun aku dan kamu.  Itu yang kukatakan kepadamu. Lalu kamu pergi meninggalkanku, tanpa kata dan hanya tersenyum kecil.